Ajari Anak Bebas Bermain

“Tuh kan, ibu bilang juga apa. Jangan lari-larian. Kalau sudah luka begitu siapa yang repot coba!? Adik tidak kasihan sama ibu? Sudah diam di rumah nonton TV!!” Lebih parah lagi, “Aduh… jangan main pasir. Lihat bajunya jadi kotor!” sembari berkacak pinggang dan menegangkan kedua bola matanya.

Sering sekali kita dengar teriakan-teriakan dari para orangtua kepada anak-anaknya yang aktif berkegiatan di lingkungannya. Permasalahannya sepele, mereka (para orangtua) tidak mau repot karena aktivitas anaknya atau karena kekhawatiran yang berlebihan.

Jika dalam iklan salah satu detergen menyatakan bahwa dalam kotor ada belajar, yang dituangkan melalui  aktifitas anak berinteraksi, bereksplorasi dengan lingkungannya, yang  diisyaratkan  dengan bermain. Maka bermain pada anak sebetulnya memiliki nilai yang berharga bagi pengalamannya, yang berpengaruh terhadap konsep berpikir anak dan proses kemandirian.

Meneladani Rasulullah

Bermain adalah bekerjanya anak. Seperti berjalan yang disyaratkan dengan jatuh yang teratur, maka bermain memiliki peranan penting dalam proses belajar anak serta bagaimana mereka membangun pemahamannya.

Abu Ya’la meneruskan dari Anas ra, ia berkata, “Rasullullah saw sedang sujud, tiba-tiba datanglah Hasan dan Husein dan menaiki punggung beliau, maka beliau memperlama sujudnya. Dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah mengapa engkau memperlama sujud?’ Beliau menjawab,  ‘Cucuku menunggangiku, aku tidak ingin cepat-cepat menyudahi kegembiraannya.’”

Sepenggal keteladanan dari Rasulullah meski kepada hal yang terlihat tidak berarti. Ternyata itu adalah bentuk perhatian tiada batas yang didasari rasa kasihnya di setiap sudut kehidupan. Pun terhadap kepentingan anak-anak kecil yang begitu Rasulullah pahami. Hal tersebut tidak hanya beliau tunjukkan kepada cucu-cucunya, kepada putra-putri para sahabat pun Rasulullah senang bermain dengan mereka.

Banyak hadis yang menujukkan betapa Rasulullah tidak mengabaikan interaksinya dengan anak-anak melalui bermain dengan mereka. Karena bermain bagi anak selain berperan sebagai sarana rekreatif, dapat juga sebagai sumber belajar yang efektif. Hal itu telah lama disyariatkan oleh Rasulullah dengan usahanya memberi kesempatan pada anak-anak kecil bermain bersamanya.

Belajar dan Bermain

Imam Ghazali dalam Ihyanya mengatakan, “Setelah anak-anak menyelesaikan tugas belajarnya, hendaklah mereka diberi kesempatan untuk bermain-main dengan permainan yang bagus, melepas lelah dari lelah sekolah. Permainannya itu tidak memayahkan dirinya, karena melarang anak-anaknya bermain dan terus menerus memaksa mereka untuk belajar akan mematikan hatinya, melemahkan kecerdasannya, sehingga bisa-bisa ia langsung mencari alasan untuk mengindarinya.”

Para ahli pendidikan pun sepakat tentang kedudukan bermain pada anak sejak usia dini. Para ahli itu menyatakan bahwa proses belajar anak lebih banyak didapat melalui cara bermain, melakukan percobaan dengan objek-objek nyata, dan melalui pengalaman-pengalaman nyata daripada dengan cara diajari guru. Begitu pun ketika anak belajar dengan tatanan moral di lingkungannya. Pembentukkan akhlak mereka bangun dari proses pengamatannya secara tidak langsung.

Tiga Pola Asuh Anak

Meskipun pada kenyataannya tidak semua orangtua berlaku tidak bersahabat terhadap aktivitas bermain anak. Dalam hal ini ada tiga pola orangtua memperlakukan anaknya. Pertama, orangtua yang bersifat permisif. Orangtua memberikan peluang yang tak terbatas terhadap aktivitas anaknya. Segalanya menjadi boleh dilakukan dan cenderung tidak peduli dengan dampak terhadap perkembangan anak. Biasanya anak menjadi sulit diatur, nakal dan tidak mengerti tentang adat kesopanan. Meskipun ada kecenderungan mereka lebih cerdas.

Kedua, orangtua yang bersifat otoriter. Orang tua tipe ini tidak mau tahu dengan keinginan anak, karena menurut mereka (orang tua) lebih tahu apa yang terbaik bagi anaknya. Sehingga apa-apa yang akan dilakukan oleh anak harus berdasarkan persetujuan dari orang tua. Dalam hal bermain, orangtua lebih banyak memberikan larangan-larangan yang didasarkan kepada kekhawatiran yang berlebihan, sehingga anak tidak punya kepercayaan diri ketika berinteraksi dengan lingkungannya.

Terakhir, orangtua yang bersifat moderat. Orangtua memberikan kebebasan beraktifitas terhadap anak namun dengan batasan-batasan yang telah dikomunikasikan telebih dahulu. Proses komunikasinya pun dua arah. Tidak hanya berdasarkan pendapat orangtua, melainkan  dari hasil kesepakatan kedua belah pihak (orangtua dengan anak). Ketika orangtua memberikan suatu larangan, maka ada proses dialog dengan anak mengapa hal tersebut dilarang atau diperbolehkan.

Dalam hal ini tampak bahwa tipe moderat merupakan tipe atau pola asuh ideal untuk diterapkan kepada anak. Tentunya dalam penerapan tidak semudah membalik telapak tangan. Pada praktiknya orangtua cenderung tidak sabar dan tidak telaten menghadapi  luapan-luapan emosi anak, yang juga diekspresikan dengan melit (selalu bertanya dengan terperinci), dan akhirnya membuat orangtua berputus asa dan menyerahkan langkah aman kepada televisi. Padahal tidak semua acara televisi aman dikonsumsi anak-anak.

Pada dasarnya kita (para orang tua) paham mengenai kesenangan anak terhadap bermain. Ini karena kita pun pernah merasakan sebagai anak-anak. Hanya saja kita lebih banyak dibutakan oleh kekhawatiran yang berlebihan, dan keegoisan yang menyatakan bahwa kita lebih tahu apa yang anak butuhkan. Padahal dengan memberikan mereka ekstra perhatian yang cukup akan menjadi sarana yang efektif dalam proses pembelajaran lewat bermain.

Bisa berupa dampingan yang bersifat tidak mengekang aktifitas mereka. Bisa juga kita menjadi bagian dari aktifitas bermainnya, karena belum tentu fasilitas permainan yang modern memiliki nilai yang lebih dari keterlibatan orangtua dalam proses bermain anak. Sesekali sempatkan waktu turut andil dalam aktifitas bermain anak. Rasakan bagaimana senangnya anak-anak bermain, karena siapa tahu dapat mengurangi segala kepenatan kita.

Maka, apalagi yang menghalangi kita untuk bersahabat dan bermain dengan anak? Menjadi bagian dari permainannya bukanlah hal yang buruk untuk dicoba. Rasulullah pun di tengah kesibukannya mengurusi persoalan umat, Beliau masih menyempatkan diri bermain dengan anak-anak. Lalu, mengapa kita tidak mengikutinya? Padahal beban kita jauh lebih ringan  dibandingkan dengan beban Rasulullah. Yuk, mari kita coba. (daaruttauhiid)