Begitu Mahalkah Kata “Maaf” di Negeri Ini?

Beberapa waktu lalu Indonesia digegerkan dengan peristiwa pembakaran bendera berwarna hitam bertuliskan kalimat tauhid di Garut, Jawa Barat. Peristiwa yang terjadi saat peringatan Hari Santri ini berimbas pada unjuk rasa umat melalui aksi “Bela Tauhid” di berbagai daerah. Memprotes pembakaran itu karena dianggap menodai Islam.

Oknum Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang melakukan pembakaran sebenarnya sudah meminta maaf, tetapi pihak Banser secara resmi menyatakan tetap kukuh pada keyakinannya bahwa yang dibakar sejumlah anggotanya itu adalah bendera dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang menurut mereka justru menyalahgunakan kalimat tauhid. Padahal, pihak HTI sendiri menyatakan mereka tidak memiliki bendera sendiri dan bendera yang mereka bakar adalah ar-Roya (Panji Rasulullah) bertuliskan kalimat “Laa Ilaaha illallah Muhammad ar Rasulullah”.

Seolah ada dualisme sikap, di satu sisi meminta maaf mungkin demi meminimalisasi reaksi negatif umat yang lebih besar atas sikap mereka. Namun, di sisi lain mengklaim kebenaran dari sisi mereka. Pertanyaannya, apakah sebegitu mahalnya kata “maaf” di negeri ini sehingga orang enggan melakukannya meski sadar dirinya salah?

Berani Meminta Maaf

Melalui tulisan ini, kita tidak akan membahas polemik tentang pembakaran kalimat tauhid tersebut. Kita justru akan menyoroti pada kemampuan seseorang atau pihak tertentu untuk mau meminta maaf atas kesalahan yang mereka perbuat. Bahwa seseorang melakukan sebuah kesalahan/khilaf adalah sebuah kewajaran seperti pepatah Arab, al-insaan mahalul khatha’ wan nisyaan, artinya manusia tempatnya salah dan lupa. Namun, kewajiban kita adalah bertobat dan meminta maaf seperti nasihat Rasulullah saw dalam sebuah hadis, “Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat dari kesalahannya.” (HR. at-Tirmidzi).

Hadis ini jelas menempatkan orang yang bertobat dari kesalahannya pada kedudukan yang mulia. Bila seorang hamba melakukan dosa dan kesalahan kepada Allah (menyalahi syariat), maka bertobat adalah cara terbaik menebusnya. Bila kesalahan itu dilakukan kepada sesama manusia, maka meminta maaf adalah cara terbaik memperbaikinya. Tentu dibarengi tekad untuk tidak mengulanginya lagi.

Namun, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, terutama berita-berita yang banyak beredar di dunia maya, orang-orang yang sebenarnya berada pada pihak “bersalah” malah marah ketika ada pihak lain yang menegur atau mengingatkan atas kesalahannya. Bahkan, ada yang balik memarahi orang yang menegurnya. Salah satu contoh kasusnya adalah tayangan vidio viral tentang sepasang remaja yang sedang berboncengan, lalu ditilang oleh polisi karena tidak memakai helm. Bukannya mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada polisi karena sudah melanggar aturan lalu lintas, remaja itu malah merusak motornya sendiri sebagai bentuk kemarahan karena tidak terima atas perlakuan polisi kepadanya. Naudzubillahi min dzalik.

Perbuatannya ini selain merugikan diri sendiri karena motornya rusak juga telah mempermalukan dirinya sendiri. Apalagi hidup di era digital seperti sekarang. Hanya dengan sekali upload video tentang diri kita akan tersebar di dunia maya yang tanpa sekat/batas ini. Bahkan, dalam hitungan menit bisa tersebar kepada ribuan orang.

Pentingnya Pola Asuh

Apa yang sebenarnya sedang terjadi di negeri ini? Kondisi ini mengingatkan kita akan salah satu konsep parenting, terutama tentang beberapa kesalahan dalam pengasuhan anak. Pada urutan pertama adalah menyalahkan hal/orang lain untuk kesalahan yang dilakukan anak.

Salah satu contohnya ketika anak jatuh. Ada orangtua yang memukul lantai atau tanah sambil mengatakan, “Nakal ya, lantainya! Bikin kamu jatuh. Sudah dipukul tuh lantainya,” sambil memukul lantai.

Setelah itu, orangtua akan mengusap lutut anak dan meredakan tangisnya. Kata-kata yang terdengar menghibur ini ternyata berefek negatif di kehidupan anak pada masa depannya. Mengapa demikian? Karena akan mengajarkan anak untuk tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi kepada dirinya, mencari kambing hitam, dan menyalahkan orang lain atau lingkungan.

Bisa jadi, kesalahan dalam pola pengasuhan inilah banyak dilakukan oleh masyarakat kita hingga berefek pada perilaku masyarakat yang sulit mengakui kesalahan apalagi meminta maaf. Mungkin, meminta maaf akan terasa begitu berat seperti memikul sekarung besar beras di punggung kita. Seandainya ada orang lain yang mau memikulnya, akan memilih dipikul oleh orang lain.

Jika kesalahan dalam pengasuhan anak seperti ini yang banyak terjadi/dilakukan oleh orangtua pada masyarakat kita lalu kondisi ini terus dibiarkan berlarut, maka akan berakibat pada lahirnya generasi bangsa yang kurang memiliki rasa tanggung jawab sehingga negeri ini akan krisis kepemimpinan. Pada akhirnya kita akan sulit menemukan pemimpin sejati yang benar-benar dibutuhkan umat negeri ini.

Konsep 3M

Jika sudah terlanjur terjadi, apa yang seharusnya dilakukan? Abdullah Gymnastiar, Pemimpin Pesantren Daarut Tauhiid Bandung (DT), memiliki rumus mengubah bangsa dengan konsep 3M, yaitu (1) Mulai dari diri sendiri, (2) Mulai dari hal terkecil, (3) Mulai saat ini juga.

Aplikasi konsep 3M dalam mengubah budaya “memaafkan” adalah dengan memulai membenahi kesalahan dari dalam rumah kepada anak-anak kita atau kepada anggota keluarga lain. Beritahu kepada anak kita bahwa mengakui kesalahan bukan berarti lemah, tetapi justru tanda orang yang kuat. Lalu, jangan lupa untuk memberi pujian saat mereka berani mengakui kesalahannya. Sebagai orangtua juga harus berani meminta maaf kepada anak jika memang bersalah. Jadikan diri kita teladan bahwa mengakui kesalahan dan meminta maaf bukan pekerjaan hina atau menghinakan diri kita di depan orang lain, tetapi justru inilah kekuatan diri kita.

Semoga usaha kecil kita ini bisa berefek kepada lingkungan masyarakat hingga akhirnya “meminta maaf dan memaafkan” akan menjadi budaya kebaikan yang mengakar di negeri ini. Amiin. (daaruttauhiid)

sumber foto: sahabatnesia.com