Budayakan Membaca agar Hidup Bermakna

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Mahamulia. Yang Mengajar (manusia) dengan pena. Dia Mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-‘Alaq [96]: 1-5).

Penyebab kemunduran peradaban Islam, salah satunya disinyalir karena rendahnya budaya membaca. Amat kontras dengan peradaban Barat, yang masyarakatnya memiliki kesadaran membaca. Budaya yang jika ditelusuri, mempunyai akar kuat dalam Islam.

Tentunya bukan sekadar kebetulan, jika surah pertama al-Quran yang turun (al-‘Alaq) berkaitan dengan perintah membaca. Bukannya perintah syahadat, salat, puasa, atau ibadah lainnya. Dan bila ditelaah, segala tata cara ibadah dan amalan yang disukai Allah, didapat dan dipahami dari kegiatan membaca.

Membaca sebagai Fitrah Manusia

Secara bahasa, kata iqra di surah al-‘Alaq [96], berasal dari akar kata qara’a, yang dimaknai sebagai kegiatan menghimpun, menyampaikan, menelaah, meneliti, mendalami, mengetahui ciri sesuatu dan membaca (Membumikan al-Qur’an, 2002). Ulama menafsirkannya untuk teks tertulis dan tidak tertulis. Kata ini diulang hingga dua kali. Yang menandakan Allah yang Maharahim telah memberikan kunci bahwa membaca merupakan keniscayaan jika ingin survive (bertahan) menjalani liku kehidupan.

Secara fitrah, manusia adalah makhluk Allah yang tinggi rasa ingin tahunya. Sejak masih anak-anak, manusia selalu bertanya akan apa yang dilihat, didengar atau dirasakannya. Artinya, manusia memiliki naluri untuk mencari tahu sesuatu yang belum dipahami. Dan membaca adalah solusi cerdas, perintah mulia agar manusia memperoleh ilmu yang menjadi penerang dalam membedakan hak dan batil. Berulang kali dalam al-Quran, Allah mengingatkan tidaklah sama antara orang yang mengetahui dengan yang tidak. Allah juga menjanjikan kedudukan mulia kepada orang-orang berilmu, setara dengan orang-orang beriman (QS. al-Mujadilah [58]: 11).

Adapun membaca yang dimaksud, tentunya tidak hanya tekstual. Makna membaca dapat juga berupa kebiasan berpikir mendalam, merenung atau menafakuri ayat-ayat alam (qauniyah). Semuanya itu, baik membaca secara tekstual maupun dalam bentuk tafakur atas realita yang terjadi, hendaknya mengarah pada satu tujuan. Yaitu makin mendekatkan kita kepada Allah. Itulah sebabnya, kita dianjurkan untuk berlindung dari ilmu dan amal yang menjauhkan dari rida dan cinta Allah.

Berbagai Ragam Manfaat Membaca

Membaca membuat manusia makin mengenal siapa dirinya. Ingatkah ungkapan yang menyebutkan bahwa barang siapa mengenal dirinya, ia akan pula mengenal Tuhannya? Di sinilah budaya membaca menemukan konteks atas ungkapan tersebut. Karena sungguh merugi bila seseorang merasa tahu akan sesuatu padahal sebenarnya ia tidak tahu apa-apa. Dengan membaca, hal itu bisa dihindarkan. Alih-alih merasa diri pintar, justru dengan banyak membaca, ia sadar dirinya bukanlah apa-apa. Masih teramat luas samudra keilmuan yang mesti diarungi dan dipahami.

Dari pemikiran ini, lahir tokoh-tokoh besar seperti al-Ghazali, Sayyid Quthb, Yusuf al-Qardhawi, atau di Indonesia kita kenal Quraisy Syihab, Buya Hamka, dan lain-lain. Dari pena mereka, beragam jenis kitab-kitab tafsir, fikih, hadis, telah ditulis. Hingga sekarang kita tetap dapat menikmati keluasan ilmu mereka. Tentu dengan membaca dan mempelajarinya. Meneruskan tradisi mereka yang kental dengan budaya membaca.

Membaca juga dapat memperkaya wawasan. Berjenis buku yang dilahap mengajak kita melanglang buana ke seluruh dunia, ke semua peradaban, kembali ke masa lalu atau berkelana ke masa depan. Kita pun bisa menelusuri jejak Rasulullah saw, bersua dengan tokoh-tokoh inspiratif yang mengubah dunia, atau bermain dengan sosok rekaan di alam yang juga imajiner. Membaca menghadirkan dunia kecil, bisa dikunjungi setiap saat, tanpa batas dan tanpa syarat!

Selain itu, meminjam istilah Hernowo, penulis buku-buku kepiawaian menulis dan membaca, kebiasan membaca layaknya menjadikan buku sebagai makanan bergizi. Sebagai menu empat sehat lima sempurna, gizi sebuah buku terletak pada susunan kata yang mampu merangsang pikiran untuk bergerak (Mengikat Makna, 2001). Bacaan yang baik akan membuat pembacanya menjadi kritis, tergugah empatinya, dan terinspirasi melakukan suatu tindakan yang diperoleh dari bacaan tersebut.

Lalu, membaca (belajar) dapat mencegah dari pikun. Dari hasil penelitian para ahli neorologi, menyimpulkan kebiasan membaca dapat sekaligus mengaktifkan kedua belahan otak, kiri maupun kanan. Sel neuron (sel saraf) pun lebih tumbuh dan berkembang dengan optimal. Pantaslah jika banyak penulis dan kaum intelektual yang kian produktif meski telah lanjut usia. Karena mereka mengasah otaknya dengan terus membaca dan belajar.

Membaca dan Menulis

Agar efektif dan optimal, proses membaca harus disertai kegiatan menulis. Imam Ali bin Abi Thalib ra, pernah berkata agar mengikat ilmu dengan menuliskannya. Boleh jadi, upaya menulis inilah yang kerap terlupakan oleh kita. Dan karena menulis adalah keterampilan, ia harus dibiasakan dan diasah setiap saat. Modalnya, tentu dengan banyak membaca.

Maka, jika ingin hidup ‘lebih bermakna’ dengan ilmu, biasakan membaca. Setiap hari, sisihkan waktu yang dikaruniakan Allah untuk mencerdaskan pikiran. Jangan hanya menonton tv atau kegiatan sejenis yang jauh dari manfaat.

Bagi yang telah berkeluarga (anak-anak), tanamkan kepada mereka untuk senang membaca. Ada banyak metode yang dapat diajarkan agar mereka gemar membaca. Seperti mengalokasikan waktu untuk berkunjung ke perpustakaan, toko buku, atau rumah buku yang keberadaannya sekarang makin menjamur.

Kuncinya adalah mau atau tidak melaksanakannya. Karena dengan cara apa kita memilih jalan yang lurus jika untuk membaca dan diikat dengan menulis, kita merasa enggan? Hidupkan budaya membaca agar peradaban Islam kembali jaya. Bismillah, semoga Allah yang Maha Mengajarkan manusia, senantiasa menuntun dari ilmu dan amal yang menyesatkan. (daaruttauhiid)