Hidup Bahagia karena Bersedekah

Rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan orang pelit dengan orang yang bersedekah seperti dua orang yang memiliki baju besi, yang bila dipakai menutupi dada hingga selangkangannya. Orang yang bersedekah, dikarenakan sedekahnya ia merasa bajunya lapang dan longgar di kulitnya. Sampai-sampai ujung jarinya tidak terlihat dan baju besinya tidak meninggalkan bekas pada kulitnya. Sedangkan orang pelit, dikarenakan pelitnya ia merasakan setiap lingkar baju besinya merekat erat di kulitnya. Ia berusaha melonggarkannya namun tidak bisa.” (HR. Bukhari)

Saudaraku, setiap orang berharap hidupnya bahagia. Bahkan, tidak sedikit orang yang rela membayar dengan sejumlah uang yang banyak demi mendapatkan kebahagiaan. Boleh jadi dengan cara berlibur ke tempat-tempat yang jauh dan mewah, yang menjanjikan kenyamanan. Atau, boleh jadi juga dengan membeli berbagai hal demi memuaskan keinginannya, karena ia mengira dengan begitu hidupnya bisa bahagia.

Padahal di tempat yang lain, banyak orang bergelimang harta, rumah megah, kendaraan banyak, uang berlimpah, karir mentereng atau popularitas yang melejit tetapi hatinya hampa jauh dari kebahagiaan. Orang lain yang melihatnya mungkin mengira ia bahagia, karena kekayaannya memungkinkan ia untuk mendapatkan apa saja yang diinginkan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Karena banyak orang kaya raya yang setiap saat, hati dan pikirannya sibuk dengan kegelisahan dan rasa takut. Takut bangkrut, takut hartanya hilang, atau dicurangi orang.

Banyak juga orang yang begitu populer, tetapi hatinya jauh dari rasa tenang dan bahagia karena setiap sisi kehidupannya selalu disoroti orang lain. Dijadikan bahan perbincangan oleh orang lain, ke mana-mana dikejar-kejar wartawan, dunia seperti sempit baginya karena ia tidak leluasa bergerak. Maka tidak heran, banyak orang rela merogoh dompetnya dalam-dalam hanya demi mencari kebahagiaan, meski akhirnya tetap saja rasa bahagia itu tidak mudah didapatkan.

Orang yang sulit mendapatkan kebahagiaan biasanya disebabkan sikap kurang bersyukur. Orang yang kurang syukur biasanya selalu mencari-cari apa yang belum ia miliki, sedangkan terhadap berbagai karunia yang sudah dimiliki ia lupa. Seperti orang yang sudah punya 99 ekor domba, namun ia tidak bahagia. Setiap hari ia dibuat resah dan gelisah hanya karena melihat seekor domba yang dimiliki tetangganya. Orang tadi lupa jika ia sudah punya 99 domba, dan penasaran ingin memiliki seekor domba lagi milik tetangganya.

Demikianlah gambaran orang yang sulit bahagia, karena ia selalu fokus pada karunia yang belum dimiliki dan lupa pada karunia yang sudah ia miliki sehingga tidak bersyukur. Demikianlah yang terjadi pada orang yang sulit bersedekah. Orang yang tangannya berat untuk sedekah adalah orang yang kurang syukur. Ia takut hartanya berkurang jika sedekah, sehingga ia selalu sibuk dengan hitung-hitungan, sibuk mencari pecahan uang paling kecil untuk sedekah, dan merasa sangat rugi jika mengeluarkan sedekah dengan pecahan uang yang besar.

Orang yang kaya raya namun sangat pelit untuk sedekah, maka hakikatnya ia adalah orang yang paling miskin. Mengapa? Karena Rasulullah bersabda, “Kekayaan bukanlah banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kekayaan harta belum jaminan kebahagiaan, karena faktanya banyak orang kaya raya yang stres. Sedangkan kekayaan hati adalah pangkal dari kebahagiaan. Faktanya banyak orang yang hidup sederhana tetapi hidupnya seperti tanpa beban. Ia selalu sumringah seolah selalu menjadi orang yang paling merdeka dan paling bahagia di dunia.

Semakin semangat bersedekah, maka semakin dekat dengan kebahagiaan. Karena rasa tulus saat bersedekah adalah cerminan dari ketenangan dan keyakinan hati, bahwa apa pun yang kita miliki hakikatnya bukanlah milik kita, melainkan milik Allah SWT. Kita hanya dititipi untuk sementara saja. Lantas, mengapa takut kehilangan atas sesuatu yang memang bukan milik kita?!

Harta yang kita miliki adalah titipan dari Allah SWT. Dan, Allah sudah memberikan petunjuk-Nya kepada kita tentang bagaimana sebaiknya harta titipan itu kita gunakan. Bahkan, Allah pun seringkali menyusul petunjuk-Nya itu dengan berbagai kesempatan yang bisa memudahkan kita untuk menunaikannya. Sebagai contoh, Allah menyukai kalau kita bersedekah, kemudian Allah pertemukan kita dengan kesempatan bersedekah misalnya saat masuk masjid berjumpa dengan kotak infak untuk pemeliharaan masjid. Kejadian sederhana seperti ini adalah karunia dari Allah yang wajib kita syukuri, yakni dengan cara mengambil kesempatan tersebut dengan antusias.

Imam Ibnu Athaillah, semoga Allah merahmatinya,  menerangkan, “Jangan merasa gembira atas perbuatan taat karena engkau merasa telah bisa melaksanakannya. Tetapi bergembiralah atas perbuatan taat itu karena ia sebagai karunia, taufik, hidayah dari Allah kepadamu. Katakanlah, ‘Katakanlah : ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’” (QS. Yunus [10]: 58) 

Jangan merasa gembira karena telah bersedekah. Tapi bergembiralah karena kita ditolong oleh Allah sehingga bisa bersedekah. Kalau kita bergembira dengan mengucapkan, “Alhamdulillah saya bisa bersedekah!” ini masih kelas biasa-biasa saja. Yang luar biasa adalah dengan mengungkapkan, “Alhamdulillah, Allah menjadikan saya sebagai jalan rezeki bagi hamba Allah lainnya.” 

Jadi, yang berbuat kebaikan itu hakikatnya adalah Allah secara utuh sepenuhnya. Seperti kita memberi santunan kepada anak yatim, sesungguhnya santunan yang berupa uang, pakaian atau makanan itu adalah memang rezeki anak yatim dari Allah. Ada pun kita hanya menjadi jalannya. Ketika kita menyantuni anak yatim, dan bergembira akan hal tersebut diiringi rasa yakin semua itu adalah kebaikan Allah sedangkan kita hanya menjadi jalan, maka ini ciri tauhid di dalam hati kita yang semakin baik.

Bergembira, bersyukur atas perbuatan Allah yang telah menjadikan kita jalan kebaikan dan ketaatan, akan membuat kita senantiasa rendah hati dan memiliki tauhid yang bersih dan kokoh. Juga membuat kita lebih mudah selamat dari jebakan rasa ujub, sombong, riya, sum’ah. Karena hakikatnya kita memang tidak memiliki apa-apa. Keberlimpahan yang kita miliki pun bukan milik kita, tetapi hanya titipan dari Allah SWT. Kemampuan kita mengumpulkannya pun bukanlah murni kemampuan kita, melainkan karena Allah memampukan kita.

Jika kita sudah memiliki keyakinan seperti ini, maka inilah kebahagiaan sejati. Yaitu, kebahagiaan karena rasa yakin kepada Allah dan rasa puas karena penilaian-Nya. (KH. Abdullah Gymnastiar)