Indahnya menjadi Pribadi yang Tenang

Ketenangan adalah ciri orang beriman. Tidak grasak-grusuk, tidak panikan, tidak emosional, dan selalu mengambil keputusan didasari pertimbangan yang jernih. Orang yang tenang selalu mengembalikan pahit manis setiap kejadian kepada Allah SWT. Karena ia senantiasa sadar, tidak ada satu pun peristiwa kecuali mutlak ada dalam pengetahuan dan kekuasaan Allah.

Memang ada kalanya peristiwa terjadi begitu tiba-tiba, sangat mengejutkan, sehingga membuat pikiran dan perasaan kita campur aduk. Namun, dalam kondisi seperti ini ada orang yang sangat ekspresif. Ia langsung berkata-kata dan bersikap sangat emosional, bahkan hingga tidak terkendali. Seringkali orang yang demikian akan menyesal di kemudian hari, akibat sikapnya tersebut.

Beda halnya dengan orang yang terlatih bersikap tenang. Setiap kali ada kejadian yang sangat mengejutkan dan tidak mengenakkan, ia bisa menahan diri terlebih dahulu untuk meredam emosinya. Hingga kemudian jika sudah mereda, barulah ia merespon kejadian tersebut dengan tutur kata dan sikap terbaik yang bisa ia lakukan.

Respon spontan yang terlontar dari lisan maupun dari sikapnya adalah respon yang terjaga karena ingat kepada Allah SWT. Spontan saja lisannya melontarkan kalimat zikir menyebut asma-Nya. Bukan ratapan, sumpah serapah, cacian, makian, kutukan atau gerutuan yang tiada berguna. Dengan kata lain, orang yang tenang sangat identik dengan akhlak mulia. Karena respon spontan itulah cerminan akhlak seseorang.

Orang yang tenang kadangkala tampak seperti orang yang lemah. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Orang yang tenang justru pemilik kekuatan. Karena tidak banyak orang yang mampu mengendalikan emosinya.

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw pernah bertanya kepada para sahabat, “Siapakah yang dikatakan paling kuat di antara kalian?” Kemudian para sahabat menjawab, “Yaitu di antara kami yang paling kuat gulatnya.” Lalu beliau bersabda, “Bukan begitu, tetapi dia adalah orang yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim)

Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa bersikap tenang bisa disebut orang yang kuat, jika mengendalikan dirinya sendiri saja ia tidak mampu. Ketika tidak bisa mengendalikan emosinya, maka ia tidak akan bisa mengendalikan pikiran, hati, ucapan dan tindakannya. Jika sudah demikian, hilanglah kehormatannya.

Rasulullah adalah pemilik ketenangan sejati. Bagaimana tidak, begitu banyak peristiwa luar biasa dahsyat yang beliau hadapi di sepanjang hidupnya, sejak masih kanak-kanak hingga beliau tutup usia. Termasuk di antaranya adalah serangan, kekerasan, intimidasi yang tiada mampu dihadapi oleh orang selain beliau.

Salah satu contohnya manakala Rasulullah berdakwah ke Thaif, 30 mil dari Kota Mekkah. Dengan ditemani seorang pelayannya, yaitu Zaid bin Haritsah, beliau tinggal di Thaif selama 10 hari untuk mengajak orang-orang di sana masuk Islam. Namun, tidak ada satu pun yang mengikuti ajakannya.

Penolakan itu bahkan berbentuk kekerasan dan pengusiran. Pengusiran yang disertai dengan lemparan batu, sehingga membuat tubuh Rasulullah berdarah. Ketika berlindung di sebuah kebun, beliau berdoa kepada Allah SWT.

Kemudian, atas izin Allah, malaikat Jibril datang menemui Rasulullah saw dan menawarkan bantuan untuk membalas perlakuan buruk mereka, “Wahai Rasulullah, maukah engkau jika aku jatuhkan dua gunung kepada mereka?”

Namun, Rasulullah menjawab, “Aku justru berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang rusuk mereka generasi yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (HR. Muslim)

Subhanallah! Betapa luhur akhlak beliau. Dalam keadaan yang sedemikian berat, Rasulullah tetap mengendalikan emosinya. Beliau tetap bersikap tenang, hingga bisa memberikan respon positif sedemikian agung berupa prasangka baik, optimisme, dan doa.

Tenang adalah jalan kebaikan, tangga kesuksesan, akhlak mulia yang menjadi ciri dari keimanan. Semoga kita tergolong orang yang semangat untuk terus melatih diri agar senantiasa bersikap tenang menghadapi situasi apa pun, baik yang sesuai dengan keinginan kita atau pun tidak, baik yang menyenangkan atau pun tidak. Insya Allah. (KH. Abdullah Gymnastiar)