Memupuk Kesadaran Bersedekah

Pada suatu waktu, seorang fakir datang meminta bantuan kepada Imam Jafar bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Imam Jafar berkata kepada pembantunya, “Apa yang ada padamu?” Pembantu itu menjawab, “Kita punya empat ratus dirham.”

Imam Jafar berkata, “Berikanlah uang itu kepadanya!” Sang pembantu pun memberikannya kepada orang fakir kemudian meninggalkan rumah Imam Jafar dengan rasa gembira.

Tidak berapa lama kemudian Imam Jafar memanggil pembantunya. Setelah muncul, Imam Jafar berkata, “Panggil dia kembali!”

Orang yang dipanggil itu menghadap Imam Jafar kemudian berkata dengan sedikit keheranan, “Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali?”

Imam Jafar berkata, “Rasululah saw bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi.’ Kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi. Karena itu, ambillah cincin ini. Harganya sepuluh ribu dirham. Jika kamu memang memerlukan, juallah cincin ini dengan harga tersebut.”

Kontan saja orang fakir itu gembira mendapatkan barang yang nilainya lebih dari kebutuhan yang dibutuhkan sekadar makan dan minum.

Orang pada zaman sekarang yang melakukan sedekah seperti Imam Jafar mungkin bisa dihitung dengan jari. Paling banyak yang bersedekah dengan mempertontonkan kekayaan atau harta berlimpah dengan dipublikasikan di media massa atau tertulis pada papan pengumuman.

Memang tidak salah hal itu dilakukan jika niatnya untuk mendorong orang lain agar tertarik bersedekah. Allah Ta`ala berfirman, “Jika kamu menampakkan sedekah maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 271).

Akan tetapi, sudahkah introspeksi bahwa sedekah yang kita keluarkan memenuhi kebutuhan mustadhafin sampai berdaya alias tidak lagi meminta-minta? Bukankah di kota-kota besar, pengemis atau kaum dhuafa yang meminta-minta di jalan dengan berbagai bentuk dandanan yang membuat ‘karunya’ merupakan profesi harian? Karena itu, sedekah yang sekadar ‘karunya’ pada dasarnya tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan, bahkan sangat jauh dari hadits yang diungkapkan Imam Jafar di atas. Pada hadits itu terkandung makna yang mendalam bahwa sedekah harus mampu membuat orang dhuafa berdaya alias berhenti dari kemiskinannya.

Memang sangat sulit untuk mewujudkan sedekah menjadi alat yang memberdayakan jika dilakukan seorang diri atau individu. Karena itu, kekuatan ‘sedekah kolektif’ yang dihimpun dalam sebuah lembaga amil zakat perlu didukung dan terus dibantu dengan senantiasa menyalurkan sedekah dan amal sosialnya pada lembaga tersebut. Apalagi kita mengetahui programnya dengan pengalaman yang terbukti maka berkontribusi pada lembaga tersebut menjadi hal utama yang dapat menambah pahala di akhirat.

Memiliki kesadaran bersedekah melalui lembaga dan orang yang tepat bukan soal gampang karena berkaitan dengan nurani dan keyakinan. Seseorang yang tidak yakin pada kebenaran ayat-ayat Allah tidak akan berani mengeluarkan uangnya untuk bersedekah. Ia mungkin akan lebih merasa aman mengeluarkan uangnya untuk mentraktir makan atau minum yang mahal dengan orang-orang yang dicintainya. Meskipun di lingkungan rumahnya ada orang-orang dhuafa yang membutuhkan modal untuk bangun usaha atau sekadar mempertahankan hidup dengan sesuap nasi, pasti tidak tergerak karena nilai keyakinan hidupnya ditumpukan pada duniawiah (materialisme dan hedonisme). Tidak sedikit mereka yang berperilaku seperti ini adalah orang-orang yang mengaku beragama Islam. Pada orang seperti ini, agama diposisikan sebagai identitas semata, bukan nilai yang harus diwujudkan atau menjadi solusi bagi kehidupan yang lebih luas di masyarakat. Pantas jika Islam pada masa sekarang ini tidak menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, Allah Ta`ala dengan tegas menyebut kaum Muslim yang tidak memerhatikan kaum dhuafa termasuk pendusta agama.

Allah Ta`ala berfirman,“Tahukah kamu  yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. al-Mauun [107]: 3) (Sari Safitri)

sumber foto: islam.nu.or.id