Menafakuri Kuasa Ilahi dalam Tubuh

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. adz-Dzâriyât [51]: 20-1)

Kalaulah ada benda tercanggih di dunia, dia pastilah tubuh manusia. Di dalamnya tergambar dengan amat detail tentang bagaimana kuasa yang tiada duanya dari Zat Yang Mahakuasa. Allah al-Khâliq. Bagaimana bisa?

Kali pertama saya berkenalan secara serius dengan “mesin supercanggih” ini adalah ketika masuk Fakultas Kedokteran. Di tingkat-tingkat awal masa perkuliahan, saya banyak sekali mendapat pengetahuan baru tentang hierarki sistem biologi dan berbagai fungsinya. Saya jadi tahu bahwa sebuah sel manusia maupun mikroba, ternyata sebuah unit yang sangat kompleks dan memiliki sistem pengambilan keputusan yang rumit.

Saya menyadari sel adalah makhluk cerdas yang senantiasa bertasbih. Siap untuk mengoptimalkan peran diri atau sunnatullah yang telah ditetapkan atasnya. Sungguh luar biasa ketika datang masa-masa kami berkesempatan menatap sel-sel sprematozoa hidup yang “berlari-lari”, berlomba untuk menemui sel telur, atau ketika kami menatap cawan petri hasil praktikum kami yang mulai dipenuhi oleh koloni-koloni bakteri yang kurang dari 24 jam lalu baru saja kami biakkan.

Ketakjuban kami semakin bertambah ketika mulai berkenalan dengan sel-sel darah yang beraneka jenisnya, bentuknya, dan juga fungsinya. Kami baru mulai mengerti bahwa sel darah merah memang didesain untuk menjadi “truk pengangkut” oksigen. Sebagai kendaraan niaga sel darah merah tidak dilengkapi dengan inti sel. Mengapa? Karena inti sel adalah organela besar yang membutuhkan tempat cukup luas di dalam sel. Ruang yang tersita oleh kehadiran inti sel akan mengurangi kapasitas dan daya tampung sel darah merah, untuk itu sel darah merah dirancang oleh Allah Ta’ala tanpa inti sel.

Selanjutnya, fungsi inti sel yang antara lain mutlak diperlukan dalam program regenerasi, dialihperankan kepada sumsum tulang yang secara periodik selalu siap membentuk sel-sel darah merah baru. Sel darah merah tidak dapat berketurunan, dan usia maksimalnya tidak panjang, hanya berkisar sekitar 120 hari. Untuk itulah, Allah Ta’ala menciptakan zat eritropoeietin untuk membantu sel-sel tunas di sum-sum tulang pipa manusia berdiferensiasi menjadi sel darah merah baru.

***

Maka, menyadari betapa rumitnya ciptaan Allah Azza wa Jalla ini, lalu semakin kita berusaha menyelaminya, semakin besar pula kekaguman diri ini dari detik ke detik kepada-Nya. Mengapa? Karena ternyata di balik kerumitan itu tampak sebuah sistematika yang indah. Sebuah orkestrasi yang menjaga agar setiap sistem tubuh kita harmoni. Setiap protein, mineral, maupun elemen lain di dalam sel dan tubuh kita memiliki fungsi yang jelas dan kemampuan pengendalian diri yang hebat.

Ambil satu contoh, apabila kita bernapas dan udara yang kita hirup melalui jalur hidung-paru dibawa oleh sel darah merah ke sekujur tubuh kita, ada sebuah pertanyaan besar, kapan sel darah merah tahu kapan dia harus mengangkut oksigen dan kapan pula dia harus mengangkut karbon dioksida?

Ternyata, mekanismenya melibatkan ke-”istiqamahan” unsur dan molekul kimia. Apabila darah merah kaya akan asam karbonat, dia cenderung akan bertukar muatan dengan oksigen di gelembung-gelembung alveoli paru. Sedangkan, apabila dia kaya akan hemoglobin yang berikatan dengan oksigen, dia cenderung berdifusi menembus dinding pembuluh darah terkecil (kapiler) menuju jaringan dengan bantuan enzim 2,3 difosfogliserat.

Mengapa? Molekul pertama yang kaya akan asam karbonat bersifat lebih asam dan akan selalu berusaha mencari keseimbangan dengan menyumbangkan sebagian potensi keasamannya. Ada pun pada molekul yang kedua bersifat lebih basa dan juga cenderung untuk mencari keseimbangan dengan jalan berinfak pada daerah atau jaringan yang tinggi suasana asamnya (banyak proton atau ion H+), yaitu jaringan yang memiliki potensi “gas buang” karbondioksida. Pertukaran ini menjadi mungkin karena adanya desain “reaktor” yang luar biasa hebat, sehingga menjamin semua reaksi berjalan normal dan sesuai dengan kebutuhan fungsional.

Dalam proses ini kita dapat melihat ternyata setiap elemen sub atomi, atom, elektron, ion, maupun molekul mampu menjalankan fungsinya dengan cerdas. Pada proses pertukaran gas di dalam sel darah merah itu ada sebuah ion kecil yang namanya jarang diingat, apalagi perannya, yaitu ion klorida. Ion klorida ini membantu sebagian asam karbonat keluar dari sel darah merah dan memfasilitasi reaksi. Apabila ion klorida jumlahnya terlalu banyak, asam karbonat yang dikeluarkan dari dalam sel darah merah menjadi terlalu banyak juga, akibatnya proses pertukaran gas antara karbondioksida dan oksigen di alveolus terganggu. Akibat ikutannya adalah kadar oksigen yang dikirim ke otak menjadi berkurang. Dalam kondisi demikian, orang akan mudah marah dan bersikap emosional.

Dari konsep sederhana itu saya mendapat sebuah pengetahuan dan kesadaran baru bahwa yang namanya kebanyakan makan garam, tidak hanya mengakibatkan tekanan darah tinggi saja (kalau yang ini disebabkan karena volume plasma atau bagian cair darah meningkat, maklum 1 ion natrium mampu menarik 4 molekul air), melainkan juga ion kloridanya dapat mengakibatkan seseorang temperamental.

Maka, dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa akhlak dan adab seseorang sangat bergantung pula kepada apa yang dia makan dan seberapa banyak yang dia makan. Sungguh, Islam telah mengajarkan azas keseimbangan hidup yang paripurna. (Oleh: Tauhid Nur Azhar, sumber foto : google.com)