Merenungi Tabiat Buruk Manusia

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan dia amat kikir.”(QS Al-Ma’ârij, 70:19-21)

Katanya sih, di antara cara mudah untuk menjadi bodoh adalah jangan pernah bersyukur, jangan pernah pula senang melihat orang lain bernasib mujur! Hmmm, bagaimana bisa?

Alkisah dalam sebuah penelitian terkait neuroekonomi atau ilmu otak yang melandasi munculnya motif-motif ekonomi seseorang atau sebuah komunitas, dilakukan sebuah percobaan yang sangat unik. Peneliti menawarkan sejumlah uang pada orang percobaan, misal satu juta rupiah, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Syarat dan ketentuan ini bersifat mengikat dan harus terpenuhi jika orang percobaan ingin memiliki uang yang ditawarkan peneliti.

Syaratnya adalah orang percobaan yang dipilih secara acak itu harus mencari seorang lainnya juga secara acak, untuk ditawari sejumlah uang dari uang satu juta rupiah itu. Jika orang kedua menerima penawaran yang diajukan, mereka berdua akan mendapatkan uang yang ditawarkan.

Namun, jika orang kedua menolak besaran penawaran dari orang pertama, mereka berdua tidak akan mendapatkan apa-apa alias akan gigit jari saja! Adapun ketentuan yang berlaku adalah orang pertama wajib memberitahukan kepada orang kedua syarat yang berlaku, yaitu mereka baru bisa menerima uang yang dijanjikan apabila terjadi “deal” atau kesepakatan soal prosentase pembagian.

Di sinilah terlihat kerakusan dan keserakahan manusia, meski mereka yang berkesempatan menjadi orang pertama sebenarnya mendapat rezeki nomplok tanpa banyak usaha dan sekadar diminta berbagi kebahagiaan saja, rerata mereka menawarkan pada orang kedua prosentasi bagi rezeki hanya sekitar 20% saja. Penawaran yang diajukan berkisar sekitar dua ratus ribu rupiah.

Meski secara logika, rasional, dan akal sehat mereka menyadari sepenuhnya bahwa besaran penawaran mereka sesungguhnya berisiko tinggi. Terlebih dengan keterbukaan informasi yang memungkinkan orang kedua untuk mengetahui posisi tawarnya dalam proses bargaining ini. Dan, sebagaimana bisa kita duga, rerata orang kedua yang mendapatkan penawaran 20% dari rezeki nomplok itu MENOLAK!

Bayangkan betapa bodohnya manusia! Rezeki gratis saja ditolak karena terkalahkan oleh rasa iri dan merasa tidak adil; rasa ketidakadilan yang bersumber dari sesuatu yang sebetulnya maya dan sebelumnya bahkan sama sekali bukan milik kita!

Orang pertama sulit sekali berbagi pada saat dia merasa sebagai sumber rezeki bagi orang kedua. Sedangkan orang kedua sulit sekali berempati pada saat dia memegang posisi kunci yang amat menentukan takdir rezeki. Kalau melihat fenomena seperti ini memang benar idiom kuno yang menyebutkan bahwa power tends to corrupt. Adanya kekuasaan dan otoritas seseorang terhadap nasib orang lain akan membuatnya sewenang-wenang memanfaatkan kekuasaannya itu untuk memenuhi kebutuhan ataupun kepentingannya sendiri.

Saya jadi teringat pesan rekan senior saya di Ikatan Orangtua Mahasiswa ITB, Ustadz Muttaqin. Beliau mengatakan bahwa di sebuah komunitas sosial beliau belajar tentang bagaimana berterima kasih kepada orang-orang dhuafa atau mereka yang termarjinalkan karena mereka bersedia untuk dibantu dan menerima bantuan. Jika mereka tidak mau dan menolak rezeki yang ditawarkan, bagaimana kita bisa beramal dan mendapat pahala? Ini pernyataan dalem bangets ya?

Fenomena di mana orang senang melihat orang lain susah dan sebaliknya susah melihat orang lain senang kini mulai terkuak misterinya. Rupanya ada unsur pengasuhan dan kondisi lingkungan juga yang terlibat di sana.

Penelitian neuromolekuler menunjukkan bahwa anak kera yang ditinggal mati induknya serta tidak pernah mendapatkan belaian kasih sayang akan tumbuh menjadi pribadi destruktif. Padahal, konsep destruktif ini satu level lebih tinggi dibanding agresif. Jika agresivitas memiliki motif karena adanya unsur pemenuhan kebutuhan, misal lapar, ingin makan, dan tindakannya merebut makanan.

Adapun dikatakan destruktif jika sudah kenyang tapi masih merebut makanan milik kera lain dan bukannya dimakan melainkan dibuang! Senang melihat yang lain susah! Rupanya curahan kasih sayang dan kondisi lingkungan turut menentukan diekspresikannya gen-gen yang terkait dengan pembentukan reseptor hormon dopamin yang menentukan mood serta perilaku primata.

Maka, tidak heran jika hal serupa bisa saja terjadi pada komunitas manusia. Bukankah belakangan ini makin banyak tindakan kekerasan diperagakan meski tanpa alasan? Perilaku anarkis dan tawuran di mana-mana, korupsi merajalela. Lho emang ada hubungannya? Kok bisa korupsi, tawuran, dan aneka kejahatan lain menjadi satu kategori penjelasan? Yah bisa sajalah. Bukankah orang korupsi kan mendestruksi banyak kepentingan orang lain, mencederai hajat hidup orang banyak dan dilakukan dengan sepenuh kesadaran.

Kita pun jadi bertanya-tanya, apakah para koruptor itu dulunya ga disusui emaknya? Sampe jadi raja tega kayak gitu! Menyusu pada emak itu selain upaya mendapat gizi yang memadai, juga bagian dari proses komunikasi yang menyampaikan pesan kasih sayang yang menyuburkan kelembutan jiwa serta ketulusan hati! (Tauhid Nur Azhar)