Mewaspadai Jeratan Utang

Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) permintaan sepeda motor di Indonesia mencengangkan. Bayangkan saja, AISI memprediksi sampai akhir tahun 2004 permintaan mencapai angka 3,4-3,6 juta unit sepeda motor.

Fakta memperlihatkan penjualan sepeda motor pada bulan September 2004 telah meningkat 5,15% dari bulan Agustus, dari Angka 356.327 unit menjadi 374.694 unit. Jumlah tersebut menurut AISI adalah penjualan unit sepeda motor terbesar dalam satu bulan pada tahun 2004. Secara keseluruhan sampai 9 bulan telah terjual sebanyak 2,89 juta unit atau meningkat 38,86% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2003. (PR, 29/12/04).

Data AISI menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan tingkat daya beli masyarakat kita. Konon, negeri ini tengah mengalami krisis moneter sejak 1997. Kondisi ini menurut pakar ekonomi masih berlangsung hingga kini. Jika kita membaca data penjualan motor yang dilansir AISI di atas, dengan penjelasan pakar ekonomi, rasa-rasanya seperti bertolak belakang.

Meskipun demikian, ada benang merah yang dapat kita ambil dari dua fakta di atas. Benang merah itu, adalah strategi pemasaran sepeda motor di Indonesia. Menurut pengamatan kita, dewasa ini untuk bisa memiliki sepeda motor sangat mudah. Dengan uang muka Rp500.000,00 saja seseorang yang ingin memiliki kendaraan roda dua akan terlaksana.

Kemudahan memperoleh sepeda motor dengan cara kredit, melahirkan dampak sosial. Dampak itu, diyakini punya motor di zaman sekarang bukan sesuatu yang ‘wah’. Itulah sebabnya, iklan motor di televisi kita, lebih menampilkan sosok marginal. Tampilnya Komeng, Mandra, Ucup, Mat Solar (Bajuri), dan sederet artis lain pada iklan motor merupakan simbol, motor bukan barang lux.

Budaya Utang
Terlepas dari pola dan strategi pemasaran sepeda motor di Indonesia, kita prihatin dengan merebaknya budaya utang. Disadari atau tidak, meningkatknya frekuensi penjualan motor di Indonesia salah satunya disebabkan karena mudahnya konsumen melakukan transaksi utang (kredit).

Pihak dealer sekarang ini lebih leluasa memanjakan konsumennya. Slogan-slogan seperti proses cepat, mudah, dan murah merupakan kiat dealer dalam menjerat calon konsumen agar berani melakukan transaksi utang.

Utang dalam konsep Islam termasuk muamalah. Bahkan, dalam alquran ayat terpanjang yang membahas muamalah itu ternyata mengupas utang.

Mengapa Alquran begitu peduli terhadap transaksi utang? Bagaimana Rasulullah memandang utang? Tulisan ini selanjutnya akan memaparkan perihal utang dari perspektif muamalah dalam tataran budaya masyarakat kita.

Dalam manajemen keuangan keluarga, kita mengenal istilah kebutuhan dan keinginan. Kedua konteks ini memiliki perbedaan yang signifikan. Kebutuhan merupakan keperluan mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Sedangkan, keinginan tidak mendesak dan tidak terlalu perlu. Artinya, kalaupun tidak dilaksanakan, keinginan itu tidak akan menyebabkan pincangnya ekonomi keluarga.

Kebutuhan vs Keinginan
Secara teknis istilah kebutuhan dan keinginan sering menjebak kita. Misalnya,”Saat ini kita perlu memiliki kendaraan roda empat. Dengan memiliki kendaraan, laba kita pasti lebih banyak!” Ungkapan tersebut bisa jadi merupakan kebutuhan, atau mungkin pula sekedar keinginan agar terlihat sukses dalam bisnis yang tengah digelutinya.

Memiliki barang karena faktor keinginan sebaiknya dihindari. Apalagi jika keinginan memiliki barang itu diperoleh dengan cara utang. Rasulullah telah mengingatkan kita, “Jabir bin Abdullah r.a. berkata, “Seseorang telah meninggal lalu segera kami memandikannya, mengkafaninya, dan memberinya wewangian kemudian kami hadirkan jenazah ke tempat Maqam Jibril. Rasulullah mengijinkan kami untuk mensalatinya, lalu beliau mendatanginya bersama kami dengan beberapa langkah dan bersabda,”Barangkali kawan kalian ini masih mempunyai utang?” orang-orang yang hadir menjawab,”Ya, memang ada, dua dinar.”Beliau pun enggan mensalatinya dan bersabda,”Salatilah oleh kalian teman kalian ini.”

Lalu berkatalah salah seorang dari kami bernama Abu Qatadah,”Ya Rasulullah, utangnya menjadi tanggunganku.” Beliau bersabda,”Dua dinar utangnya itu menjadi tanggunganmu dan murni dibayar dari hartamu, sedangkan si mayat terbebas dari utang itu?” Orang itu menjawab, “Ya, benar.” Rasulullah pun kemudian mensalatinya. Dan setiap rasul bertemu Abu Qatadah, beliau menanyakan. Dalam riwayat lain disebutkan kemudian Rasulullah menjumpainya dikemudian hari seraya menayakan,”Apa telah kauperbuat dengan dua dinar utangnya?” Dijawab,”Telah aku lunasi wahai Rasulullah.” Beliau kemudian bersabda,”Kini barulah kulitnya merasa dingin karena bebas dari siksaan.” (HR. Al-hakim, Al-Baihaqi, Ath-Thayalusi dan Ahmad)

Dialog interaktif ini memberi gambaran, jangan melakukan transaksi utang jika tidak darurat. Apabila kita mati dan meninggalkan utang sementara ahli waris kita tidak mampu membayar utang kita, maka kita celaka sebagaimana Rasulullah menasehati,”Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena utangnya sampai ia dibayarkan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Akhir kata, menghindari jeratan utang merupakan anjuran Rasulullah, sebagaimana Rasulullah selalu memanjatkan doa,”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan,dari sifat pengecut dan bakhil serta dari tidak mampu membayar utang dan dari penguasaan orang lain.”(HR. Al-Bukhari) (Encon Rahman)