Nabi Adam: Manusia Pertama yang Dipercaya Menjadi Wakil-Nya

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 30)

Menjadi orang pertama tidak selamanya menyenangkan, terkadang juga membingungkan. Seperti halnya mendapat predikat atau ranking pertama di sekolah, tentu menyenangkan. Namun menjadi membingungkan ketika orang pertama harus menampilkan sesuatu yang belum ada contohnya.

Kondisi seperti itu dialami Nabi Adam. Beliau menjadi manusia pertama sekaligus menjadi khalifah (wakil-Nya) di kerajaan bumi. Padahal sebelumnya telah ada penghuni langit dan bumi yang telah beraktivitas ribuan tahun lamanya, yaitu malaikat dan jin. Mengapa bukan mereka? Yang pasti semua terjadi karena kuasa dan kehendak-Nya.

Menurut bahasa, Adam artinya tidak ada. Sebuah nama yang mengandung makna begitu dalam. Meski secara fisik Nabi Adam ada, namun hakikatnya adalah tidak ada. Artinya Adam tidak bisa secara tiba-tiba ada dengan sendirinya, melainkan harus melalui pihak lain yang berkendak menciptakannya. Pun bagaimana (ciptaan ini) ia bekerja, harus ada pihak yang menetapkannya. Adam (yang berarti tidak ada) menjadi sebuah nama yang mengandung unsur keimanan atas eksistensi diri yang lemah dan tak berdaya, yang bergantung terhadap eksistensi Dzat Yang Maha Mengadakan.

Ketika Allah menyampaikan pengangkatan Nabi Adam menjadi wakil-Nya di bumi, para malaikat bertanya apa gerangan yang menyebabkan Allah mempercayakan kerajaan Allah di bumi ini kepadanya. Lalu Allah berfirman kepada para malaikat bahwa “Allah mengetahui apa yang malaikat tidak ketahui”.

Pelajaran pertama Allah SWT kepada Nabi Adam  adalah memberikan nama-nama. Setelahnya Allah mengumpulkan malikat dan menyuruh Adam untuk menyampaikan nama-nama tersebut di hadapan malaikatnya. Sontak para malaikat takjub dengan hal tersebut. Kemudian Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud (tanda penghormatan) kepada Adam, kecuali iblis karena merasa diri lebih tinggi dari Nabi Adam.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa iblis selumnya dikenal dengan nama Azazil. Nama ini ia sandang karena keluarbiasaannya dalam pengabdian kepada Allah SWT. Tercatat, ia telah menghamba selama 4.000 tahun. Setiap 1.000 tahun penghambaan Allah mengangkatnya ke langit yang lebih tinggi, hingga pada level langit di mana ia bisa menghamba bersama malaikat. Karena tidak mau sujud kepada Nabi Adam, maka Allah mengutuknya, sehingga Azazil terjerembab pada kedudukan yang paling hina dalam kehidupan seluruh makhluk, dengan gelar iblis (ablasa) yang berarti kebablasan, dan laknatullah yang berarti terkutuk.

Nabi Adam dengan ikhlas melakukan pengabdian kepada Allah SWT. Namun itu semua tidak mudah, ritual peribadahannya selalau “dibayang-bayangi” oleh sang pengingkar (iblis laknatullah) yang telah memproklamirkan diri untuk selalu menggoda manusia sampai akhir zaman. Dengan demikian, tugas hidup manusia yang semestinya mudah untuk dilakukan menjadi luar biasa sulitnya. Apalagi pengalaman hidup lebih dulu, sehingga logika iblis jauh lebih hebat dari logika manusia jika harus beradu.

Anugerah Allah selanjutnya adalah pasangan hidup bagi Nabi Adam yang diberi nama Hawa. Menurut bahasa, Hawa artinya keinginan. Sesuai dengan kehendak Allah SWT yang menghendaki mereka berdua bersatu. Saat mereka saling berjumpa, Allah menganugerahkan sebuah rasa kepada keduanya yang menyebabkan Nabi Adam memberanikan diri untuk menyapa. Dibalas Siti Hawa dengan melambaikan tangan sehingga Nabi Adam tidak ragu lagi untuk menghampirinya.

Allah berfirman kepada Nabi Adam untuk memberikan sedekah (mas kawin) dan menikahinya. Nabi Adam kemudian menyanggupi. Selanjutnya, Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk menghias surga dan mendandani Siti Hawa. Ketika semuanya siap, Allah memerintahkan Nabi Adam untuk memberikan sedekah (mas kawin) tersebut. Dalam kitab Ibnu Jauzi yang berjudul Salwatul Ahzan, sedekah (mas kawin) yang Allah tetapkan kepada Nabi Adam adalah membaca salawat untuk kekasih terpilih yaitu Baginda Nabi Besar Muhammad saw. Dan selanjutnya, Nabi Adam oleh Allah persilakan untuk mendiami surga bersama Siti Hawa dan mempergunakan semua fasilitas yang ada di dalamnya untuk kepentingan kelangsungan hidupnya. Wallahu a’lam.

Oleh : Ustadz Edu. sumberfoto : deviantart.com/stockhf