Nabi Syits AS, Pembukti Janji Ilahi

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Ma’idah [5]: 54)

Kematian Habil ra adalah kehilangan besar. Anak sekaligus kader pelanjut Nabi Adam as ini harus meninggal di tangan kakaknya sendiri. Padahal Habil muda tumbuh dan berkembang sesuai harapan. Sikap qana’ah menjadikannya pribadi yang memegang teguh wahyu agar amalannya tetap dalam bingkai keridaan Allah Yang Mahatahu.

Berbeda dengan Habil, perangai Qabil cenderung menunjukkan pribadi yang ingin menang sendiri. Pola pikirnya hanya tertuju pada keuntungan yang bisa ia dapatkan. Maka, tampillah ia menjadi pribadi yang oportunis. Sehingga wahyu yang ditanamkan pun hanya diambil sebagian, berupa dalil-dalil yang ia anggap menguntungkan.

Berbekal 10 suhuf yang telah Allah SWT firmankan, Nabi Adam tetap istiqamah menjalankan tugas risalahnya. Belajar dari “tragedi buah khuldi”, hari-harinya diisi dengan kewaspadaan agar tidak terjerembab ke “lubang” yang sama. Hanya satu semangat yang muncul dalam dirinya, yaitu keinginan kuat untuk mendaulatkan Allah SWT dalam diri dan seluruh umatnya.

Malangnya, sebagian keturunannya belum sekuat yang diharapkan. Di saat mereka berhadapan dengan budaya masyarakat Qabil yang telah terlena dengan tipu daya Iblis laknatullah, mereka mulai melupakan wahyu. Semua “iklan-iklan” kemaksiatan mereka terima dengan mudah. “Pakaian takwa” yang mereka “kenakan”pun mulai mereka tanggalkan. Pola pikir dan orientasinya perlahan tapi pasti terus bergeser. Akhirnya, mereka terjebak ke dalam “lembah” kemaksiatan dengan menjadikan dirinya sebagai bagian dari penikmat budaya masyarakat Qabil yang mengejar kenikmatan sesaat. Masya Allah.

Dalam kondisi demikian, Allah berkehendak menghadirkan generasi yang menjawab tantangan zaman. Generasi yang takjub hanya terhadap petunjuk wahyu dan tegas terhadap tipu daya kebathilan, serta mengisi hari-harinya dengan program-program perjuangan. Allah SWT berkehendak, Ibunda Hawa ra melahirkan seorang anak yang kelak dikenal dengan nama Syits, yang berarti hadiah atau pemberian.

Syits sangat patuh kepada ayahnya. Ia melaksanakan segala perintah Nabi Adam apa pun itu. Syits remaja pun mendapatkan gemblengan fisik dan mental agar tumbuh kuat menjawab tantangan zaman, karena di hadapannya sudah terbentang sebuah amanah besar. Ya, amanah besar untuk membentengi dan menyadarkan saudara-saudaranya agar kembali kepada fitrah kesucian, dan menanggalkan budaya jahiliyah yang telah berhasil “disuntikkan” masyarakat Qabil ke tengah-tengah masyarakat Bani Adam.

Perjuangan Syits tidaklah ringan. Bekal 10 suhuf yang ditanamkan Nabi Adam tidaklah cukup untuk menjawab dinamika di lapangan yang sudah begitu kompleks dan gebyar. “Virus jahiliyah” sudah tertancap kuat sehingga ia harus begitu sabar dan bijak mengurai “benang keimanan” yang sudah kusut bercampur kebatilan. Perkara yang betul-betul sulit untuk dijawab dengan logika, namun harus tetap diselesaikan dengan sempurna tanpa ada kesalahan sekecil apa pun.

Syits sadar bahwa Allah adalah ash-shamad, yaitu Dzat yang kepada-Nya seluruh makhluk bergantung. Ia juga sadar bahwa kesulitan yang ia hadapi atas kuasa dan kehendak-Nya pula. Maka, ia pasrahkan semua masalah tersebut kepada-Nya. Ia mohonkan sebuah penyelesaian melalui doa-doanya. Begitulah upaya konkret yang ia lakukan sehingga Allah mengabulkan semua doa tersebut dengan mengangkat Syits menjadi salah satu Nabi-Nya dan mengaruniakan 50 suhuf kepadanya.

Genap bermodal total 60 suhuf yang telah diterimanya, Nabi Syits as mulai mengurai dan menjauhkan kebatilan dari akal dan jiwa saudara-saudaranya. Dengan penuh ketelatenan, ia membacakan wahyu agar menjadi pelajaran dan penyuci jiwa bagi mereka. Alhamdulillah, fitrah yang tergugah membangun jiwa yang tidak ragu atas kemukjizatan wahyu. Lambat laun, semakin banyak saudara-saudaranya yang kembali tersadarkan sehingga Bani Adam pun bisa diselamatkan. Mereka kembali kompak untuk memegang teguh wahyu serta berlomba menjadi insan paling mulia.

 Alhamdulillah, Nabi Syits tampil menjadi pembukti janji. Ya, janji yang tertera dalam firman Allah SWT yang mengatakan bahwa pengganti-pengganti terbaik akan lahir dari masyarakat yang memegang teguh petunjuk-Nya, sehingga hanya asma dan kalimah-Nya yang tegak dan bertahta dalam semua aspek kehidupan manusia (QS. an-Nur [24]: 55). Wallahu a’lam. (Ust. Edu)