Nabi Ya’qub: Kelahiran yang Ditetapkan dan Kekuasaan yang Dijanjikan

“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Ya´qub, dan Kami jadikan kenabian dan al-Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasannya di dunia; dan sesungguhnya dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. al-Ankabut [29]: 27)

Jika kelahiran Ishaq begitu mengejutkan karena terjadi di momen yang tidak disangka-sangka, tidaklah demikian dengan Ya’qub. Allah terlebih dahulu mengabarkan sejak jauh hari, bersamaan dengan kabar kehamilan istri Nabi Ishaq. Inilah gambaran qudrah dan iradah Allah yang harus diimani, agar segala sesuatu berujung pada kebaikan semata.

Nabi Ishaq memiliki anak kembar, yaitu Ya’qub dan Ishu. Namun, di antara keduanya tidak terjalin kerukunan, karena sikap tidak tepat yang dilakukan adiknya. Ia merasa iri dengan Ya’qub. Menurut sepengetahuannya, Ya’qub mendapatkan perhatian lebih dibandingkan perhatian orangtua kepadanya.

Nabi Ishaq dan istrinya memang lebih memperhatikan Ya’qub. Mereka bersikap demikian bukan karena pertimbangan manusiawi. Namun, sebagai wujud pengawalan atas kehendak Allah yang memberitakan kelahiran Ya’qub beserta kemuliaan diri dan keturunannya, yang disampaikan melalui tiga tamu yang dulu menemui ayahnya, Nabi Ibrahim. Nabi Ishaq dan istri berusaha sekuat tenaga merealisasikannya.

Menyadari sikap saudaranya yang tidak berubah, Ya’qub menyampaikan kegundahannya kepada sang ayah. Ia berharap mendapatkan solusi terbaik. Nabi Ishaq sebagai utusan Allah diberikan petunjuk untuk menghijrahkan Ya’qub ke negeri Iraq. Petunjuk pun dijalankan. Nabi Ishaq memerintahkan Ya’kub menemui pamannya di sana. Tak lupa, Nabi Ishaq menyampaikan pesan khusus untuk pamannya.

Dalam perjalanannya menuju Iraq, Allah berkehendak mengangkat Ya’qub menjadi Nabi-Nya. Allah memberi wahyu dan menyampaikan bahwa bumi Allah yang luas ini, akan diwariskan kepada Nabi Ya’qub beserta keturunannya. Nabi Ya’qub menerima amanah tersebut penuh syukur, dan bertekad menjaga serta merealisasikannya.

Setiba di tempat tujuan, Nabi Ya’qub mengenalkan diri. Pamannya menyambut penuh suka cita. Lalu, Ya’qub meminta izin menetap dan tidak lupa menyampaikan pesan khusus untuknya. Memahami maksud pesan tersebut, paman Ya’qub menanyakan kesiapannya berkeluarga dan kesanggupannya mengelola peternakan pamannya selama tujuh tahun sebagai mas kawin. Atas syarat itu, Nabi Ya’qub menyatakan sanggup.

Hari berganti minggu, bulan berganti tahun. Tujuh tahun yang ditetapkan terlampaui. Nabi Ya’qub menunaikan syarat itu. Selanjutnya, paman Ya’qub mengurusi pernikahan Nabi Ya’qub dengan putri pilihannya. Nabi Ya’qub pun menikah.

Allah berkehendak menganugerahi keturunan yang banyak. Sesuai petunjuk yang Allah sampaikan, Nabi Ya’qub berusaha mendidik anak-anaknya agar mampu menjadi pewaris bumi yang Allah ridai. Ia menampilkan diri sebagai sosok ayah yang penuh peduli. Ia dampingi anak-anaknya agar membaca segala sesuatu dengan “kaca mata nubuwwah”. Juga ia lengkapi kemampuan mereka dengan keterampilan problem solving atas berbagai permasalahan.

Beliau memiliki dua belas putra. Semuanya dipandu dan dikelola agar bisa menjadi saudara yang siap bekerja sama. Ia tanamkan kekhidmatan sang adik agar menghormati kakaknya, dan sang kakak agar menghargai adiknya.

Apa yang diharapkan Nabi Ayub berjalan lancar. Kedua belas anaknya tampil menjadi saudara yang kompak. Mereka saling menghormati dan menghargai. Di setiap kesempatan, sang kakak senantiasa meluangkan waktu bermain bersama adik-adiknya. Tentu sang adik sangat senang dengan perlakuan demikian. Di mata Nabi Ya’qub, kedua belas anaknya telah menghadirkan sejuta asa. Dari merekalah kelak muncul para pewaris bumi yang Allah janjikan. Atas janji dan kenyatan itulah, Nabi Ya’qub dikenal dengan sebutan Israil dan keturunannya dikenal dengan sebutan Bani Israil. Wallahu a’lam.