Napak Tilas Kehidupan Nabi Ibrahim

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS. al-Kautsar [108]: 1-3).

Secara lahiriah, berkurban berarti kerelaan memotong sebagian harta dalam bentuk kambing, kerbau, sapi untuk diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Berkurban juga berarti kesediaan memotong sebagian tenaga yang kita miliki untuk kepentingan umum, keluarga, tetangga, dan masyarakat serta bangsa. Orang yang telah terilhami makna kurban, senantiasa siap bergaul dengan baik terhadap lingkungan sosial di sela-sela kesibukannya.

Idul Adha dan ibadah kurban mengajarkan kepada kita untuk kembali kepada Allah, yaitu menjadikan Allah sebagai pusat kesadaran dan kehidupan. Revitalisasi (menghidupkan kembali) tauhid di tengah-tengah degradasi (pengikisan) iman akhir-akhir ini adalah hal yang perlu dilakukan oleh kaum mukmin.

Dua Tipe Manusia Modern
Kehidupan modern telah melahirkan dua tipe manusia. Pertama, manusia yang sombong dan angkuh sehingga ia menggeser fokus kesadaran dan kehidupan dari Allah (theo-centrism) kepada suatu kehidupan dan kesadaran akan kekuasaan manusia (anthropocentrism). Naudzubillah min dzalik manusia menyembah dan mengabdi kepada dirinya sendiri. Kedua, manusia yang tiada berdaya dan terjajah oleh manusia serta mahluk lain, lupa akan kemahakuasaan Allah, sehingga menyembah dan menyerahkan segala urusan kepada makhluk lain.

Idul Adha, ibadah kurban dan ibadah haji yang merupakan napak tilas perjalanan Ibrahim as mengajarkan kepada kita betapa pentingnya peneguhan komitmen keimanan hanya kepada Allah. Tauhid yang murni tanpa terkotori oleh penghambaan pada makhluk maupun diri sendiri.

Keteladanan Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail
Di tengah kebersamaan merayakan Idul Adha, kita sejenak perlu mengenang keteladanan Nabiullah Ibrahim as dan Siti Hajar dalam melahirkan seorang generasi teladan bernama Ismail. Keberhasilan mereka berdua dalam mendidik putranya adalah sebuah pola pendidikan yang telah terbukti melahirkan seorang generasi berpredikat nabi. Kesalehan dan ketaatan Ismail diabadikan Allah SWT dalam al-Quran dan sejarah hidupnya menjadi napak tilas pelaksanaan ibadah haji sampai hari ini.

Penyembelihan hewan kurban yang menjadi bagian dari syariat Islam adalah bentuk penjelmaan dari ketakwaan Ismail kepada Allah. Ikhlas menerima tawaran ayahandanya untuk disembelih sebagai bukti cintanya kepada Allah SWT. Dia telah mampu mengalahkan keinginan nafsu dan tuntutan dunia, karena sadar bahwa cinta dan ridanya kepada Allah melebihi segalanya. Allah SWT berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Haj [22]: 37).

Ibrahim telah mengantar Ismail dan putra-putranya mengikuti ajaran Islam secara total. Ketaatan ini dimaksudkan sebagai proteksi (perlindungan) agar tidak terkontaminasi dengan ajaran berhala yang telah mapan di sekitarnya. Allah SWT menjelaskan harapan Ibrahim dengan sebuah doanya, “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.’” (QS. al-Baqarah [2]: 132).

Ibrahim memberi contoh dalam pemilihan tempat untuk mendidik anak, yaitu dirancang menjadi satu kesatuan dengan pusat ibadah ‘Baitullah’. Hal ini dipilih supaya anak tumbuh dalam suasana spiritual, beribadah (salat) hanya untuk Allah SWT. Kiat ini sangat strategis karena faktor lingkungan sangat berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak. Pemilihan tempat (bi’ah) yang strategis untuk pendidikan anak secara khusus Allah SWT abadikan dalam al-Quran, sebagaimana firman-Nya, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [4]: 37).

Kehidupan Nabiullah Ibrahim memang patut dicontoh. Beliaulah satu-satunya nabi yang berhasil mengantar semua anaknya menjadi nabi. Dari keturunan anak cucu beliau, muncul nabi akhir zaman yaitu Rasulullah Muhammad saw.

Peran Lingkungan dalam Pembentukan Karaktek
Para orang tua dan pengelola pendidikan hari ini harus mencontoh keberanian Ibrahim dan Siti Hajar dalam mengamankan Ismail agar jauh dari lingkungan buruk. Harus ada benteng yang kuat untuk mengamankan anak kita dari pengaruh narkoba, judi, seks bebas dan kekerasan. Melepas anak berada dalam lingkungan yang buruk seperti ini, berarti kita telah menghancurkan masa depan mereka.

Desain pendidikan memang harus jauh dari segala keburukan. Lingkungan yang buruk sangat berpotensi merusak akhlak dan kepribadian anak. Rasulullah saw telah memberikan rambu-rambu agar menghidari setiap orang atau lingkungan yang bisa berpengaruh negatif terhadap jiwa kita. Sebagaimana sabda beliau, “Iyyaaka waqariinassu’ fainnaka bihi tu’rafu.” (Hindari olehmu bergaul dengan orang jahat karena kamu akan dikenal dengan kejahatannya) (al-Hadis).

Begitu juga ketika menilai keberhasilan anak-anak kita. Terkadang kita sangat bangga ketika mereka meraih juara olimpiade sains atau menjadi siswa teladan dalam prestasi akademik. Namun kita jarang menghubungkan prestasi mereka dengan akhlak dan kepribadiannya. Sesuatu yang berpotensi membuat mereka tidak menempatkan Allah sebagai tujuan utama hidupnya.

Anak didik kita hari ini adalah pemimpin bangsa di masa datang. Di pundak mereka terpikul nasib bangsa ini. Kalau mereka baik maka selamatlah bangsa ini, tapi kalau mereka rusak maka bangsa ini tinggal menunggu kehancurannya. Untuk itu, sekali lagi mari kita antar mereka menjadi generasi saleh, yaitu generasi yang beriman, cerdas dan berakhlak mulia. Integritas seperti inilah yang dimiliki Ismail as sehingga bisa mempersembahkan yang terbaik untuk Allah SWT dan menjadi warisan sejarah generasi berikutnya. Wallaahua’lam. (daaruttauhiid)