Pekakah Kita untuk Menolong?

Pada satu ketika sepeninggal Rasulullah saw, Abu Hurairah beritikaf di Masjid Nabawi. Di sisi yang lain dari masjid tersebut terlihat seorang laki-laki duduk tercenung dan nampak bersedih. Abu Hurairah pun menghampirinya dan menanyakan keadaannya. Rupanya laki-laki itu sedang dirudung masalah, sehingga Abu Hurairah menawarkan bantuan, “Mari saudaraku, kita selesaikan masalahmu.”

Mendengar ajakan tersebut laki-laki itu bertanya, “Engkau memilih untuk membantuku dan meninggalkan i’tikafmu?” Kemudian, Abu Hurairah menjelaskan, “Ya. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Sungguh, berjalannya seseorang di antara kamu untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, adalah lebih baik baginya daripada itikaf di masjidku ini selama sebulan.” (HR. Thabrani dan Ibn Asakir)

Masya Allah! Setiap orang sebenarnya senang untuk dibantu keperluannya, diringankan bebannya, dimudahkan urusannya, dibukakan jalannya. Tetapi, tidak setiap orang memiliki keleluasaan untuk meminta bantuan kepada orang lain. Boleh jadi ia pemalu, boleh jadi ia tidak ingin merepotkan orang lain, atau boleh jadi ia ingin menjaga kehormatannya.

Oleh karena itu, dari apa yang dialami oleh Abu Hurairah tadi, bisa menjadi pelajaran bagi kita tentang kepekaan untuk melihat kesulitan yang dialami orang lain dan menawarkan bantuan.  Tentu saja hadis ini tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk meninggalkan i’tikaf, karena berpikir lebih baik membantu orang lain yang kesusahan. Tidak demikian. Hadis tersebut mengandung pesan tentang keutamaan nilai dari membantu sesama. Nilainya sangat besar, bahkan bisa menjadi lebih besar dari nilai i’tikaf di Masjid Nabawi sekali pun. Sehingga hal ini harus menjadi motivasi bagi kita untuk berlomba-lomba dalam membantu sesama dengan niat mencari rida Allah SWT.

Allah berfirman, “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 148).

Dalam ayat-Nya yang lain, Allah berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran [3]: 133).

Ada seorang ibu penjual buah dukuh. Sebut saja harga dukuhnya delapan ribu rupiah per kilogram. Kemudian, seorang pemuda datang sembari bertanya dengan sopan dan ramah tentang harga dan dari daerah mana dukuh ini. Ia pun mencoba satu butir buahnya. Lalu, pemuda ini minta dibungkuskan dua kilogram dan membayarkan selembar uang duapuluh ribuan dan meminta baik-baik kepada ibu itu untuk tidak memberinya kembalian. Ibu itu pun mengucapkan terima kasih, dan pemuda tersebut pamit pulang.

Kita bisa membayangkan apa yang dirasakan ibu penjual dukuh tadi, kemungkinan besar adalah rasa senang. Mungkin apa yang dilakukan pemuda tersebut tidak seberapa. Kembalian yang tidak diambilnya pun bukan uang yang bernilai besar. Begitu juga percakapan yang dilakukan pemuda itu kepada ibu tersebut bisa dinilai sebagai basa basi saja. Akan tetapi, lihat apa efek yang ditimbulkannya. Ada suasana keakraban di antara keduanya, ada perasaan senang yang hadir di dalam hati ibu penjual dukuh.

Rasulullah saw bersabda, “Orang beriman itu bersikap ramah, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).

Kejadian-kejadian kecil yang menjadi pelajaran bagi kita bahwa begitu banyak cara membantu orang lain, menyenangkan hati orang lain. Jika perbuatan-perbuatan sederhana seperti ini dilakukan dengan ikhlas, insya Allah menjadi amal saleh yang bernilai besar di hadapan Allah SWT. (KH. Abdullah Gymanstiar)