Rahasia Puasa

puasa (shaum) termasuk ibadah yang sangat utama dalam Islam. Nilai keutamaannya terlihat dari dijadikannya puasa sebagai salah satu rukun Islam setelah syahadat dan shalat. Artinya, tidak sah bangunan keislaman kita apabila tidak menjalankan ibadah puasa (yang wajib), yaitu puasa pada bulan Ramadhan. Kita pun tidak dikatakan sebagai Muslimah yang kaffah apabila kewajiban berpuasa ini kita tinggalkan. Itulah mengapa, walau harus tertunda karena adanya halangan, semisal haid, nifas, atau sakit, seorang Muslimah wajib menggantinya pada hari yang lain.

Seperti halnya ibadah yang lain, puasa pun memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah lainnya. Maka, berbeda dengan ibadah pokok lain seperti shalat, zakat, dan ibadah haji, yang dapat dilihat dengan mudah oleh orang lain; ibadah puasa hanya bisa dilihat oleh Allah Azza wa lalla. Hanya kita dan Allah yang mengetahui apakah kita puasa atau tidak; atau bagaimana kualitas puasa kita.

ltulah sebabnya, puasa adalah satu-satunya ibadah “untuk Allah”. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Setiap amal anak Adam (manusia) itu untuknya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya …” Itulah mengapa, bulan Ramadhan selain dinamakan syahr ash-shiyam, dia pun dinamakan pula sebagai syahrullah (bulannya Allah).

Saudaraku yang dirahmati Allah, dalam Islam, puasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum, hubungan suami-istri, dan hal-hal yang membatalkan ibadah puasa secara fisik. Hal yang tidak kalah penting dari itu semua adalah menahan diri dari segala hal yang menyebabkan hilangnya pahala puasa, seperti berbohong. membicarakan aib orang. memfitnah, dan perbuatan maksiat lainnya. Pada saat bersamaan, puasa pun (terutama pada bulan ‘ Ramadhan) harus dilengkapi dan diselaraskan dengan Ibadah ibadah lainnya, tidak hanya ibadah mahdhah, tetapi juga Ibadah yang bersifat sosial, semisal membantu atau menolong sesama, menyantuni orang miskin, dan sebagainya.

Simaklah sebagian isi khutbah Rasulullah saw. ketika menyambut bulan Ramadhan, “Wahai manusia, barang siapa di antara kahan memberi makanan untuk berbuka kepada orang-orang Mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dm diberi ampun atas dosa-dosa yang lalu.”

(Sahabat-sahabat bertanya), “Ya Rasulullah, tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”

Rasulullah saw. yang mulia meneruskan, “]agalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebutir kurma atau seteguk air. Tuhan akan memberikan pahala yang sama kepada orang yang melakukan kebaikan yang kecil, karena tidak dapat melakukan kebaikan yang lebih besar.”

‘Wahai manusia, siapa yang membaguskan akhlaknya pada bulan ini, dia akan berhasil melewati shirath pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Barang siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) pada bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya pada Hari Kiamat. Barang siapa menahan kejelekannya pada bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ketika dia berjumpa denganNya. Barang siapa memuliakan anak yatim pada bulan ini. Allah akan memuliakannya pada hari dia berjumpa dengan Nya. Barang siapa menyambungkan silaturahim pada bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari dia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan pada bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat Nya pada hari dia berjumpa dengan-Nya.” (Ad-Durr Al mansyur, 1/184; at targhib, 2:94, dalam buku pintar khutbah Rasulullah Saw. nawaf al jarrah, hlm 173-174)

Saudaraku, andaikan kita masih diberi waktu dan kesehatan sehingga bisa bertemu lagi dengan bulan Ramadhan, kita layak bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla. Sungguh, inilah satu di antara nikmat terbesar dari Allah yang tidak diberikan kepada setiap orang, Maka, kita layak menyambutnya dengan sebaik-baik penyambutan.

Seandainya kita tidak berada pada bulan Ramadhan, tapi berada pada hari-hari ketika puasa disunnahkan, semisal puasa Senin dan Kamis, puasa pertengahan bulan (ayyamul buih), puasa pada 10 hari pertama Zulhijjah, hari Asyura, atau lainnya, kita pun layak menyambutnya dengan mengisi hari hari tersebut dengan berpuasa.

Tentu saja, puasa yang kita lakukan bukan puasa yang asal-asalan: asal gugur kewajiban. Puasa yang kita jalankan adalah sebaik-baik puasa. Bagaimana bentuknya? Imam Al-Ghazali menyebutkan ada tiga tingkatan orang yang berpuasa. Di sini kita bisa memilih di manakah puasa yang terbaik itu berada.

Pertama, shaum awam.

Inilah puasanya orang-orang awam. Mereka berpuasa hanya lahirnya saja. Mereka umumnya hanya menahan lapar, haus, tidak melakukan berhubungan suami-istri. Hanya itu saja. Adapun anggota tubuhnya yang lain, semisal mata, telinga, lisan, tangan, atau kaki, tidak ikut berpuasa. Contohnya, lisannya tidak dijaga, sehingga dari mulutnya keluar kata-kata yang tidak diridhai oleh Allah Ta’ala: berghibah (menggunjing), memfitnah, mengolok-olok orang lain. memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk. dan lainnya. Puasa seperti ini serupa dengan puasa anak anak yang baru berlatih menahan haus dan lapar

Kedua, shaum khusus.

Orang yang puasanya tergolong kelompok kedua ini, dia tidak hanya berpuasa secara lahir, tetapi juga secara batin Artinya, dia tidak sekadar menahan lapar, dahaga, dan tidak melakukan hubungan intim, mereka pun menjadikan seluruh anggota tubuhnya berpuasa dari hal-hal yang diharamkan atau setidaknya dari hal yang sia-sia lagi tidak disukai Allah Ta’ala. Lisannya berpuasa dari mengatakan hal-hal yang tidak disukai Allah Ta’ala. Telinga berpuasa dari mendengarkan hal hal yang tidak disenangi Allah Ta’ala. Matanya berpuasa dari melihat hal-hal yang dimurkai Allah Ta’ala. Demikian pula anggota tubuhnya yang lain, semua berpuasa dari melakukan perbuatan dosa.

Ketiga, shaum khusus biI-khusus (lebih khusus dari yang khusus).

Tingkatan orang yang berpuasa ini adalah puasanya orang-orang saleh, para kekasih Allah Ta’ala. Mereka tidak hanya menahan haus dan lapar, atau menahan anggota tubuhnya dari yang dibenci Allah Ta’ala. Mereka pun menjadikan hati dan segenap pikirannya berpuasa dari segala sesuatu yang bisa melalaikan diri dari mengingat Allah. Harihari mereka adalah hari-hari penuh kebaikan.

Saudaraku, selama ini, di level manakah kita berada? Kesatu, kedua, atau ketiga? Di sini kita perlu terus mengevaluasi diri. Sudah sejauh mana kualitas ibadah puasa yang telah kita lakukan. Jika masih berada pada level pertama atau kedua, berjuanglah untuk terus memperbaiki diri, menambah ilmu, dan berlatih sehingga kita bisa naik ke level yang lebih tinggi. Jika belum mampu, berusahalah untuk berada di golongan kedua, jangan sampai turun ke level terendah. *

“seandainya engkau berpuasa, hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu turut pula berpuasa dari dusta dan hal hal yang diharamkan allah ta’ala, dan janganlah engkau menyakiti tetangga.

bersikap tenang dan berwibawa pada hari puasamu. jangan engkau jadikan hari puasamu dan hari tidal puasamu sama saja (tidal ada bedanya).” (jabir bin abdillah, latha ‘if al ma’arif, 1/168) (Ninih Muthmainnah)