Sabar versus Mengeluh

Azan berkumandang, hari mulai gelap, pertemuan pun ditutup. Semua menuju rumah masing-masing. Dengan penuh ketenangan sepeda motor mulai melaju, satu, dua, tiga kecepatan bertambah, angin berhembus seraya menemani perjalanan. Harapan memenuhi jiwa dapat memberikan ilmu di tempat lain.

Waktu menunjukan pukul 18.50 WIB, tujuan sebentar lagi dicapai, selintas lamunan bersemayam dalam pikiran, tiba-tiba brak tabrakan terjadi. Sakit, panas, kaget, shock menyatu dalam jiwa. Temaramnya malam menjadi saksi kejadian itu.

Sakitnya lilitan benang di luka, membuat terjaga dari apa yang telah terjadi. Rabb ujiankah yang telah kau berikan kepadaku? Linangan air mulai memenuhi kelopak mata, sadar kecelakaan telah menimpa. Itulah awal pembicaraan dari apa yang akan selanjutnya dipaparkan.

Sabar, hal yang sering menghilang dalam jiwa saat-saat seperti itu. Mengeluh sesekali muncul dengan kesombongannya. Benar! Keduanya akan datang silih berganti, bahkan mendominasi salah satu di antaranya.

Kesulitan dalam menerima apa yang sedang menimpa diri merupakan perjuangan yang sangat dahsyat. Keluh kesah senantiasa membumi dalam jiwa, kesabaranlah yang dituntut pada saat seperti itu. Namun wajar, jika menimpa setiap insan yang dilanda musibah. Sebab, kekuatan jiwa cenderung menyuruh kepada kejahatan, dan di antara karakteristiknya enggan beriltizam dan terikat, tetapi senang berpindah-pindah dan lepas kendali, walau kendali itu bermanfaat di akhirat.

Lontaran keluhan beruntut datang menghampiri diri. Sakit dijadikan alasan untuk bermanja-manjaan. Salat sesekali ditinggalkan dengan mengkambinghitamkan sakit. Padahal Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak memberatkan umatnya. Segala bentuk ibadah dibebankan sesuai kemampuan saat itu.

Pantas jika mengeluh dikutuk dan diharamkan oleh agama. Nabi saw pun bersabda “ Tiga macam tanda kekafiran terhadap Allah, merobek baju, mengeluh, dan menghina nasab orang.” Dalam hadis lain Nabi bersabda, “Mengeluh itu termasuk kebiasaan jahiliyah, dan orang-orang yang mengeluh, jika ia mati sebelum tobat, maka Allah akan memotong baginya pakaian dari api neraka.” (HR. Ibnu Majjah).

Sebenarnya jika kita kaji, penderitaan yang dialami bukan karena sakit semata, tapi karena terlalunya mendramatisir keadaan seolah-olah tiada lagi kekuatan untuk bertahan. Kebiasaan mendramatisir keadaan ternyata masih ada saja yang menyukainya. Bagi kita, betapa pun beratnya cobaan yang Allah berikan, cobalah untuk memproporsionalkannya.

Keutamaan sabar

Sabar diartikan sebagai menahan, baik dalam pengertian fisik material, seperti menahan seseorang dalam tahanan, maupun nonfisik (immaterial), seperti menahan diri atau jiwa dalam menghadapi sesuatu yang diinginkannya. Sabar tidak identik dengan sikap lemah atau menerima apa adanya. Namun, sabar merupakan perjuangan yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan dan mengendalikan keinginan nafsunya. Bahkan sabar di saat ini menjadi kekuatan moral dalam menghadapi berbagai kejahatan, kezaliman, serta teror yang dilakukan oleh mereka yang tidak ingin kejahatan dan kezalimannya terbongkar.

Allah SWT berfirman, ”Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 153).

Kekuatan jiwa dalam membangun kesabaran, memiliki nilai balasan yang sangat menjanjikan. Nabi bersabda, Allah berfirman dalam sebuah hadis Qudsi, “Tidak ada balasan bagi hambaku mukmin, jika Aku ambil kekasihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan surga baginya.”

Dalam hadis lain. “Wahai manusia, janganlah kalian berharap bertemu musuh, mohonlah kepada Allah keselamatan, namun jika kalian bertemu musuh maka bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu di bawah tajamnya pedang.” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam riwayat Bukhari, surga seolah menjadi tertutup dengan hijab, dan hijab ini bukan dari kulit atau sutera atau jenis-jenis kain penutup lainnya, tetapi ia terhijab dari hal-hal yang dibenci. Oleh karenanya, itu bukan satu penutup tetapi banyak. Dan hijab yang beragam dengan corak-corak yang beragam, serta warna-warni yang berbeda, karena pada setiap musibah ada warna tersendiri. Setiap ujian ada corak tersendiri. Maka, tidak mungkin seorang mukmin sampai ke surga, kecuali dengan menyingkap hijab-hijab ini seluruhnya, yakni dengan sabar dan tabah dalam menghadapi semua coban yang menimpa.

Kesabaran tersebut kita wujudkan dalam bentuk pengahambaan yang sebaik-baiknya kepada Allah, serta mengembalikan semuanya kepada Allah. Sebagaimana firman-Nya,“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’” (QS. al-Baqarah [2]: 156-157).

Jelaslah kesabaran yang kita tanam dalam jiwa akan menuaikan buah yang begitu indah dan nikmat. Semoga kita semua tergolong orang-orang yang sabar. Aamiin. Wallahu a’alam bis shawab. (daaruttauhiid)

sumber foto: republika.co.id