Seberapa Layak Langkah Kita Disebut Hijrah

Ada sebuah makna mendalam saat Khalifah Umar menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw beserta sahabat dari Mekah ke Madinah sebagai tonggak awal perhitungan tahun yang sampai saat ini digunakan oleh segenap umat Islam di dunia. Penamaan kalender qamariah (perhitungan tahun berdasar pada rotasi bulan) umat Islam pun dinamai dengan istilah tahun hijriah atas pertimbangan acuan tadi.

Sudah merupakan keharusan, hijrah yang termasuk pada 3 pilar utama Islam selain iman dan jihad sebagaimana yang tercantum pada QS. At Taubah [9]:20, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah, serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di Sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan,” adalah kewajiban yang sayangnya tak terlalu kita utamakan sehingga pada akhirnya, kekeliruan konsep dalam berhijrah pun mencoreng esensi hijrah itu sendiri.

Parsial

Kebanyakan kita lebih konsen ke urusan syarat keislaman yang bernama iman dan antusias ke amalan bernama jihad dengan iming-iming syurga tapi lupa pada kondisi diri secara utuh untuk untuk lantas bertanya sudahkah kita beranjak ke kondisi yang lebih baik dengan “sebenar-benarnya”. Mohon dipahami, kalimat sebelumnya hanya mengambarkan iman dan jihad dalam konteks terabaikannya hijrah dalam prioritas pencapaian kita sebagai seorang muslim. Dalam posisinya secara mandiri, iman adalah unsur pertama yang harus ada pada diri seorang muslim dan hijrah tak lebih utama dari jihad. Keduanya harus jadi prioritas pada posisinya masing-masing yang terkait konteks tertentu.

Kata sebenar-benarnya yang sengaja saya bubuhi tanda kutip sendiri tak lain sebagai  penegasan bahwa menjadi seorang muslim sejati haruslah hadir dalam konteks keseluruhan. Bukan parsial meskipun hal itu dominan dalam tampilan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah 2:208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Seorang manusia dalam konteks keislamannya merupakan satu kesatuan dari banyak bagian yang saling menguatkan. Dalam diri seorang muslim, yang ada tak hanya soal itikad, tekad, ucap, sikap, atau langkahnya saja yang merefleksikan kadar keislaman pada dirinya. Tidak pula terpatok pada dua garis besar pemisah antara jiwa dan raganya saja.

Contoh teknisnya seperti ini, alangkah tak elok terlihat saat kita menjauhkan diri dari segala kekufuran demi menjada akidah tapi di sisi lain, kita tak mampu untuk sekedar menjaga perasaan orang lain, bersikap seenaknya, dan dengan mudah memvonis kesalahan orang hanya karena tak sama pandangan dengan kita. Pun sebaliknya, dengan apik kita kemas tampilan diri yang nampak dalam rupa, ucap, dan perilaku, namun saking sibuknya memoles citra pada bagian luar, ruhiyah kita keropos menyisakan kemunafikan yang pada akhirnya tetap saja membinasakan di kala topeng yang kita banggakan terlepas dan memperlihatkan wujud diri yang sebenarnya.

Hijrah itu perbaikan diri secara utuh. Bukan masalah cepatnya; perubahan membutuhkan sebuah proses yang pasti takkan sama cepat antara satu orang dengan orang lainnya. Nikmati saja, jangan terhenti dan puas hanya di satu atau dua bagian saja lantas dengan berani menyimpulkan diri sudah lebih baik dari lainnya.

Sebuah hipotesa pernah saya utarakan dimana fisik dan prinsip itu saling menguatkan dalam koridor konsep yang bernama hijrah. “hijrah fisik sebelum prinsip itu angan-angan sedangkan hijrah prinsip tanpa fisik adalah ujian yang menunggu waktu sampai kapan dia bisa bertahan.” Jadi, kesungguhan dalam mengumpulkan tiap bagian diri untuk menjadikannya sebuah keutuhan yang menjalani proses perbaikan pada sebuah konsep bernama hijrah adalah sebuah keniscayaan.

Perluasan Makna

Selain itu, perluasan makna dalam berhijarh pun kian memperburuk esensi hijrah itu sendiri. Pindah rumah kita sebut sebagai hijrah, pindah kerja dalam rangka hijrah, sampai mulai mengenakan penutup kepala pun kita sebut itu hijrah. Lebih menyedihkan, hijrah sendiri saat ini telah menjadi komoditas yang menguntungkan sebagaimana yang diangkat dalam sebuah acara televisi swasta yang menampilkan contoh-contoh  orang yang telah berhijrah. Tanpa menafikan tujuan baik dengan memberikan inspirasi kepada penyimak untuk berhijrah, acara TV  yang mau tak mau disiapkan untuk menjaring rating penonton ini justru riskan pada pencorengan esensi hijrah tadi.

Meski tak terkait subjeknya langsung, niat komersalisasi sungguh tak elok dengan semangat hijrah yang harus dituju demi mencapai keridaan Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam hadis pertama pada Shahih Bukhari, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.”

Diurusi oleh orang-orang yang awam tentang hijrah, benar saja, acara ini tak kalah sering berujung masalah selain maslahat yang masih perlu dicari pembuktinya. Beberapa artis yang sempat menjadi subjek kisah hijrah pun menuturkan kekecewaan mereka atas terlanggarnya privasi mereka kala diulas di acara tersebut.

Dari uraian panjang di atas, yang hendak saya sampaikan sebagai pengingat bagi diri pribadi dan orang lain soal konsep berhijrah adalah,

  1. Hijrah yang menjadi kewajiban di setiap diri seorang muslim haruslah dimulai dengan penuh kesadaran akan pentingnya perbaikan diri yang dilakukan secara utuh,
  2. Hijrah tak bisa diterapkan hanya pada satu atau dua bagian dari diri kita sendiri. Semuanya harus bersinergi menuju pada cita-cita akan segala kebaikan diri,
  3. Jangan memandang terlalu sederhana konsep berhijrah sehingga kata tersebut seolah bahasa yang dapat diobral kapan saja dan dilupakan kapan pun bisa,
  4. Keberhasilan hijrah sangat ditentukan pada itikad awalnya. Tanpa niat tulus perbaikan diri demi mencapai kerhidoan Allah SWT, hijrah tak akan pernah mungkin terlaksana.

Akhirnya, sebagai seorang muslim, di setiap hari yang kita lalui, semoga semangat hijriah yang mengiringi bilangan hari menggenap bulan dan menjelma tahun di lembar usia kita, perbaikan diri dapat senantiasa kita usahakan. Aamin!

Penulis hanya orang biasa yang mencintai dunia kepenulisan

Oleh: Andris Susanto, sumber foto :