Takdir Langit yang Selalu Hebat

Oleh : Aprilia Rahmanita

 

“Bukankah sepotong kalimat diatas selalu mampu membuatmu berterimakasih, Bila?” tuturnya padaku.

Terusik. Perasaan itu hadir kembali. Ah! Bukan pada waktunya. Pernyataan yang sekaligus selalu menjadi pertanyaan bagiku yang dengan begitu cepat menyibukkan pikiranku.

Sekejap pikiranku kembali kemasa lalu. Aneh, semua seolah sama, terasa sama, yang berbeda adalah hanya perihal siapa yang menuturkannya. Setelah banyak mengingat, ternyata benar nyata. Isi dari setiap nasihat untukku adalah ‘sama’. Selalu berujung pada penyesalan ‘mengapa tidak dari semenjak dulu aku berdamai dengan takdir langit?’.

Jelas, kalimat itu berhasil membuat lamunanku kabur, seolah mudah membuatku seketika tertunduk kaku. Tanpa sadar aku terisak, tangisku pecah. Tak hening lagi.

Meski begitu, aku tetap berusaha menjawab, namun saat itu lebih tepatnya -aku sedang berbicara pada diriku sendiri-

“Kamu tau? Bahwa selama ini, waktu mengajarkanku untuk  menyelam lebih dalam ke dasar kehidupan yang telah Allah sediakan untukku”, tuturku sambil tersedu. Entah kepada siapa sebenarnya aku harus mengadu saat itu.

Entahlah, kalimat demi kalimat masa lalu memenuhi seluruh ruangan yang tersisa dalam sempitnya pikiranku. Berdatangan, tanpa perlu menunggu izin dariku untuk masuk.

“Fokuslah pada peran yang lebih penting. Sebab memang, kamu adalah perempuan biasa, Bila. Akupun begitu. Dan yang tidak biasa darimu adalah bagaimana pemikiran sederhanamu yang seringkali membawamu melakukan banyak hal yang tidak sederhana untuk hidupmu. Bukankah kamu paham benar, bahwa dunia menyilaukan? Tapi aku yakin, kamu punya kacamata berbeda untuk melihat dunia yang sebenarnya. Dan aku yakin bahwa kamu bisa untuk selalu bijak dalam menjalani setiap episode kehidupan yang selalu berlanjut begitu saja meski tanpa ada perintah dari dirimu walau hanya sekata, sebab itulah takdir langit yang tak pernah bisa terelakan. Semoga setiap hati kita mampu dengan ikhlas untuk selalu berdamai dengan takdir langit, sebab penerimaan itulah yang berkekalan, abadi.” nasihat yang ‘sama’ itu terdengar, lagi.

Sesekali membuat bukan hanya pikiran yang sesak, namun hatipun ikut merasakan sesaknya. Nasihat itulah yang selama ini menuntunku berjalan meski seringkali terjatuh, namun dengan semangat aku berdiri ‘lagi’, tertatih, meskipun pada akhirnya selalu ada tangis yang menyisakan dan menyesakkan. Persis sama seperti anak kecil yang baru saja bisa berjalan, belajar untuk lama melangkah lalu terjatuh-bangun-terjatuh-menangis-bangun, begitulah alurnya kurang lebih, begitu.

Ahya, ada yang terlupa. Namaku Nabila, orang ramai memanggilku dengan panggilan singkat ‘Bila’, entahlah apakah aku suka atau tidak dengan panggilan itu. Tak peduli.

Sama seperti sikapku -saat itu- terhadap kehidupan lain, hanya fokus pada dunia, tak peduli kepada yang lain. Benar-benar tak peduli. Masa laluku memang tak banyak orang yang tau dan memang tak penting untuk orang lain mengetahuinya.

Kau tau? -lagi lagi sedang berbicara pada diri sendiri- dengan kegigihanku, aku mampu sedikit beranjak lalu ‘pergi’ dari kehidupan lamaku, saat itu, saat dimana aku yang t-e-r-l-a-l-u disibukkan dengan hanya tentang dunia, itu saja. Seolah tak pedulikan hal lain lagi. Dan yang jelas masih kuingat adalah ketika aku mulai tersadar tentang keberanianku yang keterlaluan, tentang mengharap surga dengan bekal amalan yang ‘seadanya’, bahkan sepertinya aku lebih sering beramal dengan amalan yang dapat menjauhkanku dari surga. Keliru bukan? Jelas keliru dan sekarang tentu aku tak seberani itu, lebih tepatnya sedang belajar untuk tidak se’berani’ itu lagi.

Aku hampir saja menyerah kepada setiap takdir langit. Bagaimana tidak? Seketika lamunanku menyeruak. Sebab tak lama setelah aku berusaha sekeras mungkin untuk ‘kembali’, begitu banyak Allah hadirkan ujian tentang kehilangan. Terpaku, lagi. Mengingat bahwa dulu aku seolah terlihat ‘baik-baik’ saja, padahal banyak kebiasaan buruk yang menjadi keseharianku saat itu. Seolah ketika aku menjadi ‘jahat’, semua berjalan lancar, mudah, tak ada yang menghalangi. Enak. Iya terlihat enak.

Namun tak pernah aku rasakan hati setenang dan setentram seperti sekarang ini.

Rupanya aku tersadar untuk ‘kembali’. Rupanya saat itu aku terlalu begitu sederhana dalam melihat kehidupan. Padahal tidak pernah ada yang sederhana dalam kehidupan. Jikapun ada atau bahkan banyak, tentu hal sederhana itulah yang justru memiliki ribuan makna yang pada akhirnya selalu bermuara pada keadaan hati yang merasa bahagia.

Meski begitu, selalu saja ada tangisan atas setiap kehilangan yang menimpaku. Seketika teringat kembali pada nasihat lainnya, satu-persatu seolah menghujam kedasar hati yang paling dalam:

“Jangan pernah merasa kehilangan, sebab memang kita belum pernah memiliki apapun. Dan yang kutau lagi, bahwa setiap kehilangan itu menyakitkan bukan? Dan kamupun sudah merasakannya, Bila. Tentu akan sulit berdamai dengannya, sungguh.” lanjutnya lagi.

“Memang, begitu banyak takdir langit yang tak dapat dibahasakan, banyak. Namun pada akhirnya, takdir yang menyapamu akan membuat kamu selalu berterimakasih kepadaNya, bukan?”.

Saat itu, tak pernah luput dalam penglihatanku. Gurat di wajahnya yang begitu jelas terekam dalam ingatan, guratan itu, menampakan bahwa dia sangat serius dan memperhatikan apa yang sedang terjadi padaku.

Dan ternyata kata-kata itu ‘lagi’, dengan mudah aku bisa menirukan kata terakhirnya. Nasihat yang kuhafal. Sering, tak hanya satu dua, tiga, empat atau lima kali bahkan lebih mungkin, tepatnya aku tidak ingat.

Nasihat yang menyenangkan dan menenangkan, namun sesekali menyisakan kenangan lalu dan menyesakkan hati. Sesekali.

Nasihat demi nasihat tak pernah luput dalam pendengaranku. Satu persatu aku ingat kembali. Dan ada satu yang kuingat, ini berbeda, bukan lagi tentang nasihat yang sudah kuhafal itu. Isi nasihat ini berpesan untuk membantuku menghilangkan kebiasaan lama, yang menurut penutur nasihat itu adalah kebiasaan sia-sia yang ada pada diriku. Iya sia-sia.

“Sebab kamu seorang muslimah, maka milikilah kecantikan dengan definisi berbeda, Bila. Tidak semua yang orang lain lalukan, harus kamu coba dan lakukan pula. Menjadilah terasing lalu berbahagialah. Muslimah itu baik bercadar atau tidak bercadar, semakin tersembunyi dari pandangan lelaki itu semakin baik dan semakin terhormat,” lanjutnya tak terhenti. Seolah tau apa yang sedang terjadi, kini sedikit lebih rumit, ini tengang hati, tentang rasa yang sedang membuncah lebih tepatnya.

“Aku takut dihisab. Dunia maya begitu membinasakan, jika memang kita tak bijak dalam menggunakannya. Coba belajar untuk meminimalisir kehidupan kita di dunia maya. Kemudian buatlah hidupmu lebih hidup dengan cara yang Allah suka, bukan sebaliknya”, tutupnya, namun ini bukan akhir dari nasihat-nasihatnya.

Kata-kata itu mengalir, merasuk kedalam pikiran. Yang kuingat saat itu adalah setiap kata yang singgah begitu mudahnya menyihir hati ini agar semakin mantap beralih untuk melakukan apapun dengan selalu berusaha fokus pada peran yang lebih penting, iya peran yang lebih penting sebagai seorang muslimah.

Tak hanya sampai disitu. Lagi-lagi aku tersadar, banyak pernyataan ataupun pertanyaan tentang kehidupan yang aku tanggapi dan pahami dengan keliru selama ini.

Lalu iapun melanjutkan kembali dengan kalimat yang bagiku begitu terdengar singkat namun begitu menghujam:

“Mungkin saja, sebenarnya kita hanya pura-pura shalihah selama ini”, ucapnya lirih, tenggelam dalam tangis penuh penyesalan. Seolah diapun pernah merasakan hal yang sama sepertiku.

“Selama ini semua amal dengan mudah dinampakan dan menjadi sia-sia pada akhirnya, ikhlas menjadi tak punya arti lagi, ditambah tanpa disadari diri ini menjadi tak pernah punya amal rahasia. Astagfirullah.” lanjutnya tertatih, lirih.

Mengingatnya saja aku terisak. Sungguh.

Hari ini sebenarnya matahari terlihat sayup sinarnya, tak secerah biasanya, seolah tau tentang kabar diriku, ingin menemaniku. Namun matahari tetap pada setianya, memberikan cahaya walau tak sebersinar biasanya, dan kau tau? -berbicara ‘lagi’ pada diri sendiri- sinarnya yang tak menyilaukan itu sungguh membantuku untuk bisa sedikit tersenyum. Tangisku mereda karenanya. Hatiku seolah dibuat lebih hangat, tenang, lalu dengan sengaja aku mengenangnya, lagi.

Mengenang banyak nasihat, begitu banyak, tentang pemahaman dan penerimaan yang ‘abadi’, tengtang sepotong cerita kecil kehidupan, tentang takdir langit yang selalu hebat.

Sungguh, aku selalu jatuh cinta jika mengingat setiap langkah perjalanannya yang begitu setia menuntunku, meski memang tak sesetia matahari yang memberikan sinarnya. Perjalanan panjang yang begitu indah, benar-benar indah.

Setelah banyak hal terlewati, kesemuanya itu selalu berujung pada akhir yang bahagia. Bagaimana tidak? Sebab nyata, aku selalu tersenyum-senyum, terkagum-kagum, lalu pada akhirnya selalu dibuat jatuh cinta berkali-kali terhadap setiap takdir langit yang selalu hebat.

Senarnya banyak yang hilang dari pandangan, namun tidak dari hatiku. Senyum itu akan tetap sama, sahabatku. Senyum yang selalu menyertai setiap nasihat berhargamu.

Terimakasih atas setiap nasihat abadi itu. Sungguh aku banyak dibuat sadar, terlebih tentang kesadaran bahwa penilaian Allah atas diriku adalah lebih berharga dari apapun, bukan? -lagi, berbicara pada diri sendiri-

Sepertinya terimakasihku tak akan pernah terhenti.

Sahabatku, kamu adalah teman yang begitu baik, yang rajin bertanya ‘apa kabar’ terhadap hatiku. Kamupun teman terajin yang membantuku untuk lebih banyak tersenyum, seolah hatiku ini merasakan janji kehidupan yang lebih baik setiap harinya. Pun membantuku untuk lebih jauh memahami bahwa pembalasan hari akhir itu nyata, senyata aku sekarang yang sedang tersenyum mengenang semua masa lalu itu.

Masa lalu yang sesungguhnya saat itu banyak yang belum aku mengerti, sebab memang bentuk keadilan langit itu tidak akan pernah kitapahami secara sempurna. Namun dengan sabarmu, kau ajarkan aku tentang bagaimana sebaiknya menyikapi kehidupan yang jarang orang lain bisa melakukannya, yaitu dengan seni, selalu berbaik sangka terhadap setiap apapun takdir langit yang menyapa.

Dan kau tau? Sesekali aku membayangkan bagaimana nada bicaramu, mungkin memang tak akan pernah sehebat dulu. Sebab nada itu tak akan pernah ternyatakan lagi. Namun perlu kau tau, hatimu itu akan selalu sama bukan? Selalu hebat. Terimakasih, lagi, untukmu.

Satu hal lagi yang mungkin jika kamu mendengarnya, kamu tak akan pernah bosan untuk memelukku, menguatkanku, seperti yang kau selalu lakukan padaku, dulu. Ini nyata, bahwa aku kini tak pernah lagi membenci masa lalu itu, seolah ‘berbalik arah’ begitu saja, banyak hal yang aku syukuri terhadap setiap apapun yang terjadi di masa laluku itu, kini aku bisa berpikir lebih luas, setidaknya pengalaman itu berharga, sehingga bisa membawaku untuk bisa lebih menyelami kehidupan yang telah Allah sediakan dengan menyenangkan dan menenangkan. Persis sama seperti saat aku bertemankan nasihat-nasihatmu, dulu.

Kau tau? Saat kamu pergi, sulit untukku mengendalikan diri, menaklukan nafsu hati. Sungguh, aku terlampau khawatir atas keadaanku. Ada semacam perasaan takut yang begitu membuncah, tak karuan, entahlah.

Tapi sungguh banyak yang tak aku mengerti saat itu, saat aku tau bahwa aku tak akan lama lagi bisa menggelitikmu, kamu justru memenuhi ruangan itu dengan senyum yang merekah, seolah kau tau hari itu matahari sedang memancarkan cahayanya terang, kini cahaya itu menemanimu, berpihak padamu. Sebab aku justru memenuhi ruangan itu dengan penuh haru, pilu, sama sekali aku tak peduli pada cahaya matahari siang itu.

Sejenak setelah kau pergi. Aku pikir aku tak akan pernah bisa mengerti tentang senyummu itu, senyum yang mengantar kepergianmu. Namun kini aku paham, paham dengan senyummu dulu, senyum itu menyatakan bahwa setiap apapun yang tulus itu akan abadi. Dan ternyata benar, aku tak pernah khawatir lagi setelah kau pergi, sebab selalu ada nasihatmu yang mengabdi dalam hati untuk selalu menuntuku, sebab nasihat itu kau sampaikan dengan tulus dan senyummu benar, abadi mengabdi dengan nasihat-nasihatmu itu, lengkap.

Kau tau? Kini, aku mulai bosan dengan nasihatmu, sebab dari setiap nasihatmu itu, aku sudah terlalu banyak menerima kebaikan. Ah aku bercanda Dira! Sungguh aku tak pernah bosan atas setiap nasihatmu itu.

Dira, Nadira lengkapnya, nama sahabatku. Nama itu abadi dalam hatiku, Bila, Nabila. Namun jasadnyalah yang sejak lama meninggalkanku, pergi dengan setia, sebab tak akan lagi ada kata kembali.

Sahabatku, kamu selalu mampu dalam hal menaklukan hatiku. Tapi ada satu hal yang kamu tak mampu, Dira. Sekarang kamu sungguh tak mampu -sama sekali- membantuku untuk melepas rindu ini, sebab kamu sudah tak bersamaku lagi. Kamu sekarang mungkin tersenyum geli melihatku bukan? -seperti biasa bertanya pada diri sendiri-, tawamu itu menyertai banyaknya perubahanku kini, perubahan yang sama sekali tak ku sangkai. Namun aku tau Dira, sepenuhnya tau, bahwa senyum gelimu itu adalah sungguh sebagai penghormatan dirimu terhadapku, atas setiap perubahan yang aku alami selama ini.

Sejenak teringat, masih ada nasihat yang abadi yang sedang aku perjuangkan sampai saat ini.

“Menjadilah sederhana untuk dirimu sendiri, jangan pernah merasa dengan perubahanmu itu, lantas kau selalu merasa menjadi lebih baik dari orang lain, keliru. Tidak begitu, kamu hanya boleh mengakui bahwa perubahanmu itu adalah penyebab kamu lebih baik dari dirimu yang dulu. Itupun jangan lupakan, bahwa ada Allah yang Maha Hebat dibalik ini semua. Semua tak pernah tak ada campur tangan Allah.”

Sampai saat ini, aku sungguh peduli dengan nasihat terakhirmu itu. Nyatanya kau tak hanya pandai menasihatiku, namun kau lebih pandai lagi, menyatakan apa yang kau katakan: berbaik sangka terhadapku, seolah kau benar yakin bahwa aku akan berubah dengan izin Allah. Dan itu benar, nyata. Dan akupun yakin, doamu pasti banyak terlibat.

Ahya, jika dulu aku rindu, aku selalu bisa mebersamaimu dalam pelukan. Dan kini tentu akan berbeda, ketika rindu itu datang, maka izinkanlah aku untuk tetap selalu membersamaimu dalam doa.

Dan kau tau Dira? Ada yang enggan aku katakan padamu dulu, karna hatiku masih kaku, benar-benar kaku. Namun kini aku sungguh dengan bangga mengakui setiap nasihatmu itu dan aku yakin bahwa kamupun ikut menyaksikan bahwa kini dengan kesungguhan hati, aku mengakui setiap nasihat abadimu itu. Kamu benar sahabatku, bahwa aku akan selalu mudah untuk berterimakasih kepadaNya, sebab takdir langit yang selalu hebat.

 

Terimakasih Dira, atas setiap tatapan teduhmu itu. Banyak rindu yang belum juga kau balas. Ini hanya sedikit cerita untukmu, Dira, Nadira. Memecah kerinduan.

 

Ada banyak pelukan doa untukmu. Tertanda,

Bila, Nabila.