Turki, Bumi Peradaban yang Aku Rindukan (Potret sejarah pertama)

Dengan khusyu, aku membaca lembar demi lembar novel lama yang baru-baru ini masuk ke dalam daftar buku favoritku, sampai pada akhirnya berhenti pada halaman 101 dan sepertinya aku tenggelam dalam paragraf itu:

Fahmi seperti menyaksikan langsung bagaimana Sultan Muhammad Al Fatih sujud syukur. Seketika itu juga Fahmi menghadap kiblat dan sujud syukur. Ia bersyukur kepada Allah yang telah memberinya karunia bisa sampai di bumi Sultan Muhammad Al Fatih, aku bersyukur mengetahui sejarah emas kemenangan pasukan Islam menaklukan Konstantinopel. Ia bersyukur Allah memberinya kenikmatan yang lebih mahal dari dunia seisinya, yaitu iman dan Islam.

 

“Akupun bersyukur, seperti Fahmi.” gumamku lirih setelah membaca beberapa kalimat dalam novel yang berjudul Api Tauhid karya Habiburrahman El Shirazy. Rupanya kalimat itu mampu menyihir hatiku, dengan sigap tanganku menyeka air mata agar tidak jatuh.

Setiap kali aku membaca atau mendengar kalimat kemenangan Islam, hatiku ikut luruh. Seolah kalimat itu ingin memberitahu, bahwa dulu Utsmaniyah merupakan pusat khilafah Islamiah, Turki Utsmani menjadi negara adikuasa setelah menaklukan Byzantium (1453 M), Turki Utsmani berkuasa lebih dari 6 abad. Wilayah kekuasaan meliputi sebagian Asia, Afrika dan Eropa. Puncak kejayaan Turki Utsmani berlangsung pada masa pemerintahan Sulaiman I (1520 – 1566 M) setelah itu, kerajaan Turki Utsmani semakin lemah karena pemberontakan internal dan kalah perang melawan bangsa Eropa. Kejayaan Utsmani akhirnya diganti dengan Republik Turki. Itulah sedikit sejarah singkat yang pernah aku baca, karya Rasyid Rizani, S.HI., M.HI, yang berjudul Turki Utsmani.

Lalu aku menghela nafas panjang sambil memejamkan mata dengan ditemani hati yang luruh penuh keharuan. Tanpa sadar aku berbisik pada diri;

“Ternyata benar, perjalanan ini belum berakhir. Meski langkah kaki ini tak lagi bisa untuk selalu menapaki bumi dimana kekhalifahan kedua itu bangkit, oleh karenanya aku harus tetap membuat diriku semangat untuk lebih mengenal dan menjelajah sejarah Islam di bumi Turki dengan caraku yang lain.” tanpa kurasa, bisikan itu menyibak kembali kenangan masa kemarin, kenangan dibumi peradaban yang selalu aku rindukan.

Kemudian setelah kuingat-ingat, tiba-tiba muncullah kata-kata:

“MasyaAllah walhamdulillah, masyaAllah walhamdulillah.”, sepertinya dua kata itulah yang menjadi pembuka untuk setiap kalimat yang datang dari lisanku pada saat pertama kali langkahku menapaki bumi nun jauh disana, yang terlampau indah, yang aku suka langit dan sejarahnya, Turki.

“Turki, negara didua benua,” apakah itu saja hal unik dari negara yang sekurang-kurangnya harus ditempuh dengan jarak 11.859 km? Tentu tidak, InsyaAllah aku akan ceritakan tentang bagaimana perjalanan bersejarahku, terkhusus tentang catatan mimpi-mimpiku yang bukan hanya melibatkan hati dan pikiran namun juga airmata, sampai pada akhirnya benar-benar Allah jemputkan mimpi itu, untuk mengenal lebih jauh sejarah peradaban Islam di Turki secara langsung.

Entah sejak kapan aku mulai banyak memimpikan hal yang sebenarnya diriku sendiripun tak tau bagaimana caranya agar aku bisa menggapai mimpi-mimpiku itu. Namun yang kutau bahwa aku tak pernah berhenti untuk yakin kepada Allah Sang Perencana Terbaik. Karna bagiku, mimpi adalah suatu hal yang harus dibuat nyata. Untuk itu, aku selalu menasihati berulang kali kepada diriku sendiri untuk selalu bersemangat dalam menata hati dengan selalu melibatkan Allah. Agar Allah sendiri yang jemputkan mimpi itu untukku.

 

Seringkali kuucapkan pada diriku:

“Selamat berbisik kepada langit, tentang mimpi yang selama ini kau ingin hadirkan dalam kehidupanmu. Jangan pernah berhenti untuk yakin bahwa Allah mendengar setiap bisikmu. Karna setiap bisikan itu akan banyak mendatangkan keajaiban dalam hidupmu.”

Iya, keajaiban, bahkan banyak keajaiban. Satu dari banyak keajaiban dariNya adalah kudapati saat itu bahwa aku akan diberangkatkan ke Turki selama 29 hari lamanya untuk satu misi perjalanan luar biasa. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu, tapi yang pasti aku sangat menyambutnya dengan begitu banyak kesyukuran atas kesempatan yang telah Allah berikan kepadaku. Karena bagaimanapun, bahagia dan sedih adalah titipan dari Allah bukan? Kita hanya perlu tetap bersyukur untuk itu.

Namun dibalik senyum syukur dan bahagiaku ini, ada yang sempat aku cemaskan, karena aku akan menunda suatu hal. Namun setelah aku banyak berdoa kepada Allah untuk senantiasa membimbing perjalananku ini, lalu setelah itu izin kepada orangtuaku, dan alhamdulillah diizinkan, seketika itu juga aku tersadar bahwa aku tidak perlu cemas dengan segala sesuatu yang sudah memiliki sabuk waktu masing-masing, semua pasti ada masanya. Selebihnya kubiarkan Allah menyapaku dengan takdir terbaikNya. Sebab memang pada akhirnya aku selalu tersenyum-senyum, lalu terkagum-kagum dengan semua rencana Allah yang Maha Hebat.

Sebenarnya, banyak yang ingin aku ceritakan, karna aku tak ingin menyisakan rahasia tentang catatan perjalanan bersejarahku ini, namun rupanya aku tetap harus memilah dan memilih kembali apa yang harus aku ceritakan.

Saat itu, Jum’at 22 Desember 2017, tepat pukul 12.35 waktu Istanbul, menjadi saksi perjalanan pertama yang paling bersejarah dalam hidupku. Bagaimana tidak? Perjalanan ini menempuh jarak terjauh dan terlama tinggal di negeri orang. Setelah aku melalui imigrasi, saat itu juga secara resmi aku menyatakan bahwa aku telah memasuki negara cantik ini. Lalu dengan cepat aku mencari tempat pengambilan barang, kemudian aku tunggu sampai dua koper dan satu tas jinjingku menghampiri, saat itu juga aku mencari troli untuk dapat membawa dua koperku itu. Namun sayang, ternyata butuh uang koin untuk bisa memakai troli tersebut.

Untuk pertama kalinya kudapati di bandara internasional yang harus berbayar jika ingin memakai troli. Karna aku belum sama sekali punya mata uang Turki (Turkish Lira), maka dengan senyum senang dan cepat sambil meyakinkan kepada diriku sendiri bahwa “pasti ada hikmah”, aku membawa semua barang mendekati pintu keluar bandara. Tak jauh dari pintu bandara, kuperhatikan ada seorang perempuan berbaju tebal yang terlihat begitu bersemangat membawa entah buku apa ditangannya, ternyata dia menghampiriku dengan perlahan, terlihat seperti sedang menyelidik. Sampai pada akhirnya perempuan itu berhenti tepat di hadapanku. “Alhamdulillah,” ucapku. Akhirnya aku bertemu dengan Wulan, bersalaman penuh hangat, lalu aku tanya kabar dan hal ringan lainnya.

Wulan adalah seorang perantau dari Jakarta, yang kini sedang menjalani studinya sebagai mahasiswi psikologi di Fatih Sultan Mehmet Vakif University. Saat pertama kali berbincang, kudapati hal yang unik dari Wulan adalah logat bicaranya yang khas, ada aksen Jawa, Sunda, Melayu dan Turki. Lalu banyak hal lain yang menjadi daya tarikku untuk mengenal lebih jauh sosok Wulan yang juga menjadi seorang santri ala Turki, di sebuah yayasan atau mungkin jika di Indonesia dikenal dengan pondok pesantren, yang bernama Hayrat. Setelah sedikit dibuka dengan perbincangan hangat, Wulan meminjamiku Istanbul kart, itu adalah kartu yang bisa digunakan untuk membayar trasportasi selama di Istanbul.

Sempat aku kebingungan, lalu bagimana dengan Wulan? Tak lama setelah itu, Wulan menunjukkan kartu öğrenci. Ternyata itu adalah kartu pelajar yang dengannya Wulan bisa mendapat tawaran khusus, tinggal memilih, apakah mau mendapat potongan harga (dalam waktu dua jam, tap pertama 1.25 TL, kedua 0.50 TL, dan ketiga 0.40 TL, begitu seterusnya) atau memilih paket seharga 85 TL untuk 200 kali tap.

Dengan adanya Istanbul kart ini, kurasa lebih cepat dan hemat. Istanbul kart harus diisi saldo dengan memasukan lembaran uang Tukish Lira. Karena aku belum punya sekepingpun Lira di kantong uangku, maka aku meminta Wulan mencarikan mesin untuk mengambil uang Lira. Saat itu, mungkin aku terlihat kebingunggan harus memilih bank mana yang akan digunakan, maka Wulan langsung memberi saran untuk menggunakan bank Garanti. “Kursnya bagus”, tuturnya.

Meski dengan adanya kejadian troli yang tidak bisa dipakai secara cuma-cuma tadi, ada hal yang harus lebih aku syukuri, alhamdulillah aku mendarat di bandara Atatürk, bandara yang dekat dengan pusat kota. Ada satu bandara lagi di Istanbul yang berada di benua Asia yaitu bandara Sabiha Gökçen, namun tak semegah dan semudah di bandara Atatürk yang berada di benua Eropa itu, karena metro dan kereta api bandara hanya tersedia di bandara Atatürk.

Keluar dari bandara, udara dingin Istanbul begitu cepat menyambutku dengan hangat. Saat itu di Turki sedang musim dingin dan seringkali aku menggigil kedinginan, sepertinya itu terjadi karena aku belum berkenalan dengannya. Salju belum turun, namun cuaca dingin Istanbul sudah pasti akan menyapaku mulai hari ini sampai 29 hari kedepan dan aku tau pasti itu tanpa jeda.

Setelah aku isi saldo Istanbul kart di mesin khusus, Wulan mengajakku untuk naik kereta, kereta itu mengantarkanku dan Wulan ke suatu tempat bernama Kirazlı, Istanbul bagian Eropa. Selama dalam kereta kuperhatikan banyak yang berhijab, dalam hati aku bergumam, “Amankah aku dengan yang berniqab ini?”, ah namun aku langsung menggeleng-gelengkan kepala lalu melihat sosok Wulan yang juga sama denganku. Sering aku berdoa, meminta perlindungan kepada Allah, agar Allah selalu menjagaiku dengan penjagaan terbaikNya. Sebab yang aku tau tentang bagaimana Turki dulu selepas Kekhalifahan terakhir itu runtuh dan begitu sangat menyeramkan. Bagaimana tidak? Turki menjadi negara yang sekuler. Bayangkan, kudapati cerita bahwa dulu di Turki hijab tak boleh dipakai, adzan menggunakan bahasa Turki, Masjid Hagia Sophia beralih fungsi menjadi museum, lalu masjid Al Fatih menjadi gudang, itu sebagian kecil yang aku tau. Tak henti pula aku berdoa, “Ya Rabb, jagai kami agar kami kuat dan selalu Engkau teguhkan iman dan Islam kami untuk bisa berjuang mengukir kembali kemenangan Islam di masa depan.”

Hari pertamaku menjadi momen yang hangat karena bisa dipertemukan dengan Wulan, lalu di Kirazlı aku dipertemukan dengan Kristin (Lulusan Gontor yang sedang belajar bahasa Turki di Marmara University), Salma (Mahasiswi Istanbul University) dan Vivi (Mahasiswi Marmara University) yang pernah menjadi koresponden Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI ) tentang Palestina di Istanbul, Turki. Banyak perbincangan hangat yang menyapaku di hari pertama kala itu dan kudapati hal yang menyenangkan lainnya adalah aku dapat izin untuk sementara tinggal bersama mereka di sebuah apartemen.

Dihari pertamaku ini begitu banyak aku temui hal sederhana tapi begitu unik yang seringkali membuatku tertarik. Akan banyak cerita baru, haru dan bahagia. Karna aku banyak mengenal orang baru, banyak mengenal budaya baru dan juga masih banyak hal baru lainnya yang kesemuanya itu membuat lisan tak berhenti untuk memuji Allah, subhanallah.

Setiap hal apapun yang terjadi selama di Turki, aku rangkum dalam ingatan dan sepertinya tak ada satupun ingatan yang tertinggal, karna setiap detiknya begitu berharga, alhamdulillah. Cerita dihari pertamaku tentu masih akan berlanjut, insyaAllah.

 

(Tunggu ceritanya dalam potret-potret sejarah selanjutnya)

Potret Perjalanan Aprilia Rahmanita

Santri PPM 10 Daarut Tauhiid