Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, Pemegang Amanat Umat

Ketika membaca kisah perjalanan hidup para sahabat, akan kita temukan berbagai karakteristik dan keistimewaan pada diri mereka, yang membuat mereka mampu bersinergi dalam mengembangkan dan melebarkan wilayah da’wah ke seantero jazirah Arabia. Karakteristik yang khas pada diri mereka dijadikan Rasulullah sebagai wasilah dalam menentukan tugas dan memikul tanggung jawab da’wah. Tidak terkecuali dengan Abu Ubaidah Ibnul Jarrah. Seorang sahabat yang amanah dalam menjalankan tugasnya, yang keteguhannya dalam menjalankan tugas dan memegang amanat membuat Rasulullah sangat mempercayainya.

Abu Ubaidah tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya. Giginya ompong karena dua gigi mukanya patah saat mencabut besi tajam yang menancap pada kedua sisi rahang Rasulullah pada perang Uhud. Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Ash Shidiq RA di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah SAW menetapkan rumah Arqam sebagai tempat da’wah. Ia pun ikut hijrah ke Habasyah dengan rombongan yang kedua.

Ketika Abu Ubaidah di bai’at (sumpah setia) Rasulullah untuk membaktikan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnuya makna kata-kata yang tiga ini “berjuang di jalan Allah”, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan kepadanya apapun juga yang diperlukan berupa darma bakti dan pengorbanan. Semenjak itu, ia tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya dihabiskan untuk mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan dibaktikan pada jalan-Nya.

Ujian Maha Berat
Ketika perang Badar, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah ikut memperkokoh dan membela barisan kaum muslimin. Sedangkan ayahnya berada dalam barisan kaum kafir Quraisy. Pada waktu itu ia mengalami ujian yang sangat berat. Ia dihadapkan pada dua pilihan, ayahnya yang kafir atau keislamannya yang diridhai Allah.
Dalam arena pertempuran, ayahnya memburu Abu Ubaidah, tetapi ia selalu mengelak, menghindar dan menjauh. Ayahnya tidak menyadari mengapa sang anak sengaja menghindar, sehingga ia semakin penasaran dan memburunya, tetapi Abu Ubaidah selalu menghindar. Sampai pada suatu kesempatan ia tidak dapat lagi menghindari ayahnya. Dengan berat hati ia meladeni ayahnya. Akhirnya duel tersebut dimenangkan oleh Abu Ubaidah. Demi menegakkan amanat Allah dan rasul-Nya, Abu Ubaidah terpaksa membunuh ayahnya. Peristiwa itulah yang kemudian diabadikan Allah dalam Al-Quran surat Al-Mujaadilah ayat 22.

Sahabat Kepercayaan Rasulullah
Pada suatu hari datanglah seorang utusan masyarakat Najran menemui Rasulullah SAW. Utusan itu meminta kepada Rasulullah agar dikirimkan kepada mereka seseorang yang bisa mengajarkan hukum-hukum Islam. Rasulullah menyanggupinya dan menjanjikan kepada utusan tersebut seraya berkata, “Esok hari aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar amin, benar-benar amin, benar-benar amin.”

Orang yang disebut ‘amin sampai diulangnya tiga kali adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah. Dialah yang diutus mengajarkan syariat Islam kepada penduduk Najran.
Kepercayaan yang diberikan Rasulullah SAW terhadap Abu Ubaidah membuat Umar Ibnul Khattab RAberkata mengenai Ubaidah menjelang wafatnya “Kalau Abu Ubaidah Ibnul Jarrah masih hidup maka aku akan menunjuknya menjadi pengantiku. Dan kelak bila Allah SWT bertanya kepadaku tentang apa sebabnya, maka aku akan menjawab, “Aku memilih dia karena dia seorang pemegang amanat umat dan pemegang amanat Rasulullah.”

Panglima Besar yang Rendah Hati
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq RA, panglima tentara Islam di wilayah timur, yaitu Khalid bin Walid ditugaskan untuk membantu panglima tentara Islam di wilayah barat, Abu Ubaidah. Keduanya bahu membahu membebaskan negeri Syam dari cengkeraman Romawi. Kerjasama keduanya berhasil mengusir pasukan Romawi dari negeri para Anbiya tersebut.

Abu Ubaidah tercatat sebagai salah seorang panglima besar yang dimiliki umat Islam. Keberhasilannya sebagai seorang panglima tidak membuatnya menjadi ujub dan takabur, sebaliknya, malah membuatnya semakin zuhud dan rendah hati. Pujian dan penghormatan yang diberikan pasukan dan rakyatnya semakin membuat hatinya ciut dan kecut. Ia meyakinkan rakyatnya bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang lebih baik iman dan ketakwaannya kepada Allah dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Orang kepercayaan umat ini wafat di negeri Urdun di wilayah Syam, sekitar Yordania dan jenazahnya dimakamkan di tempat yang pernah dibebaskanya dari cengkeraman kerajaan penyembah api dan berhala, yaitu Persia dan Romawi. Wallahu a’lam. (Ahmad Kosasih)