Agar Tobat menjadi Efektif

“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga…” (QS. at-Tahrim [66]: 8) 

Pada setiap jenak kehidupannya, manusia, siapa pun dia pasti pernah melakukan dosa dan kesalahan. Kerapkali, malah kesalahan yang sama berulang. Namun, Allah SWT telah memberikan naluri kemanusiaan kepada nurani setiap kita, hingga kita dapat membedakan—segera atau lambat—bahwa apa yang telah diperbuat adalah sebuah kesalahan. Karena seiring dengan penciptaannya, manusia dibekali potensi baik dan buruk.

Jadi, meski syetan selalu berupaya menggelincirkan kita pada kesengsaraan, tapi Allah juga memberikan kekuatan ikhtiar untuk tetap bertahan pada jalan takwa. Itulah sebabnya, mengapa setiap kita diharuskan untuk senantiasa bertobat. Tiada lain agar manusia tidak letih untuk terus memperbaiki diri. Bukankah tidak ada yang dapat menjamin keselamatan kita kelak pada hari perhitungan?

Pentingnya Tobat

Tobat adalah sarana untuk selalu dan terus-menerus membersihkan dan menata diri. Membersihkan dari khilaf yang telah diperbuat, sekaligus lebih siap menata kehidupan di masa depan, agar tidak terlalaikan seperti dimasa lalu.

Menurut Imam al-Ghazali, tobat dimaksudkan untuk mendapat pertolongan Allah SWT. Manusia tidak akan sanggup berdaya upaya sendirian. Pastilah ada peranan Allah yang Maha Mengatur segalanya. Maka, bagaimana mungkin kita berharap ditolong-Nya, jika masih banyak melakukan dosa dan maksiat.

Tobat merupakan pintu pertama dan utama agar mendapat kemudahan dan pertolongan Allah. Dan, fungsi tobat yang kedua adalah agar Allah menerima semua amal ibadah kita. Dalam setiap amal yang dilakukan, bukan tidak mungkin terselip pula dosa atau maksiat yang tidak diridai Allah. Karena itu, senantiasa bertobat dapat membersihkan noda tersebut, dan insya Allah semoga membuat amal kita diterima-Nya.

Momentum Bertobat

Idealnya, setiap saat haruslah menjadi pengingat untuk bertobat kepada Allah. Namun, kadangkala justru momentumlah yang menyadarkan seseorang. Untuk itu, pandailah mengenali momentum, agar setiap kita dapat mengoptimalkannya. Salah satunya adalah ketika mendapat musibah. Ujian hidup sering membuat manusia menjadi lebih pasrah dan sepenuhnya bergantung kepada Allah. Saat itu, diyakini tidak ada satu pun yang dapat menolong, selain hanya Allah saja. Bertobat adalah cara terbaik untuk menyerahkan segalanya kepada Allah. Sayangnya, tidak sedikit yang setelah ditolong Allah, lepas dari ujiannya, lalu kembali kepada sifatnya semula (QS. Yunus [10]: 12). Maka, meski kita tidak berharap mendapat musibah, tapi ketika masa itu harus dihadapi, optimalkan sebagai sarana bertobat yang murni dan terus menjadi semangat perbaikan diri untuk kehidupan selanjutnya.

Pergantian masa, juga merupakan momen baik untuk perubahan diri. Melalui muhasabah atau evaluasi diri, bahwa begitu banyak sisi kehidupan yang salah langkah, sedang waktu bergulir tanpa henti, manusia diingatkan untuk bertobat. Selagi masih diberikan jatah usia. Lihatlah, pagi yang berganti sore, lalu malam pun menjelang. Semuanya adalah pertanda bahwa sungguh tidak ada yang lebih patut kita khawatirkan, selain kita belum sempat bertobat. Andai setiap kita bertanya pada nurani, sekecil apa pun kesalahan atau dosa, tetaplah mengganjal dan menjadi onak duri. Maka, tobatlah obat dari keresahan hati itu.

Syarat Tobat

Sebagaimana yang disyaratkan pada ayat Quran pada awal tulisan ini, tobat pun tidak boleh sembarang dilakukan. Harus dengan sungguh-sungguh. Karena itu, setidaknya ada beberapa syarat tobat. Pertama, menyesali betul dosa yang telah diperbuat. Betul-betul berniat meninggalkan perbuatan dosa. Termasuk, tidak menganggap remeh dosa yang dilakukan. Atau sebaliknya, menganggap dosa itu pasti bisa diampuni Allah. Jelas, hal ini adalah sikap sombong dan menjadi penghalang tobat. Padahal, seorang mukmin, menurut Rasulullah saw adalah orang yang memandang dosanya, ibarat gunung yang siap menimpanya.

Kedua, tidak mengulangi lagi dosa yang ditobati. Jika dalam hatinya masih terbersit keinginan atau kemungkinan untuk melakukan kembali dosa yang ditobati, maka ia belumlah tergolong bertobat. Ia hanyalah menghindar dari perbuatan dosa. Maka, azzam atau tekad yang kuat untuk tidak mengulangi dosa disertai ikhtiar maksimal untuk merealisasikan janjinya kepada Allah, insya Allah itulah tobat yang murni. Jadi, walau kadang kesempatan untuk mengulang kesalahan itu ada, berjuanglah sekuat daya untuk mengabaikannya. Mudah-mudahan Allah menolong kita.

Ketiga, hiasilah tobat kita dengan kompensasi, beramal sebanyak, semampu yang kita bisa lakukan. Mudah-mudahan, dari sekian amal yang diperbuat setelah tobat kita, ada yang berkenan diterima Allah dan menjadi pengganti atas dosa yang dahulu. Kita tidak pernah tahu, amal seperti apa yang akan diterima Allah, maka berbuat kebaikan setiap saat adalah sebuah keharusan.

Selain itu, agar tobat menjadi lebih efektif, iringi pula dengan perubahan diri dan lingkungan. Bergaullah dengan sahabat yang lebih baik, lingkungan yang lebih kondusif agar kita menjadi teringatkan dan lebih terjaga dari mengulang dosa dan kesalahan.

Maka, janganlah pernah cemas akan dosa dan kesalahan. Ampunan Allah sungguh Mahaluas bagi setiap hamba yang ingin memperbaiki dirinya. Bukankah itulah perjuangan? Episode hidup di dunia ini, tidak lepas dari benar dan salah. Namun Allah lebih mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS. al-Baqarah [2]: 222). Bahkan, nabi dan rasul pun, manusia terpilih, tidak pernah jemu bertobat. Apalagi lagi kita, mestinya. Semoga setiap kita secepatnya dapat memilih jalan terbaik, tobatan nashuha, dan menjadi mukmin yang lebih baik. Insya Allah. (daaruttauhiid)