Arti Sebuah Pengorbanan

Pengorbanan Nabi Ibrahim membawa pelajaran tersendiri. Salah satunya bagaimana kemampuan diri menikmati pengorbanan dan menikmati keikhlasan. Dua kata ini, pengorbanan dan keikhlasan, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari Nabi yang berpredikat ‘Kekasih Allah’ ini. Karena pengorbanannya yang besar dan keikhlasannya yang sempurna, Nabi Ibrahim dimuliakan Allah dan semua orang beriman.

Ada tiga jenis manusia dilihat dari perilakunya. Ada yang berbuat karena ingin mendapatkan, inilah jenis pekerja. Ada yang berbuat karena ingin menzalimi, inilah jenis penjahat. Dan ada yang semangat berkorban, inilah jenis pahlawan. Di antara tiga jenis manusia tadi, jenis terakhirlah yang mengangkat seseorang ke tempat terhormat.

Pengorbanan, hanya berarti di sisi Allah jika dilakukan dengan ikhlas. Kunci ikhlas adalah fokus. Artinya, amal yang kita lakukan hanya untuk Allah, tidak ada ruang pengharapan bagi selain Allah. Karena itu, orang ikhlas dipuji atau dicaci, dilihat atau tidak dilihat orang, amalnya tetap istiqamah. Tapi, konteks karena Allah jangan pula dijadikan legitiminasi untuk memaksa seseorang. Apalah artinya ucapan “karena Allah” dilontarkan jika dalam hatinya ngedumel, tidak ikhlas.  Hal ini akan berubah maknanya.

Bagaimana kita menikmati pengorbanan untuk orang lain dengan hati ikhlas? Nilai seorang manusia tidak dilihat dari apa yang ia dapatkan, namun dari apa yang ia berikan. Semua yang Allah ciptakan memiliki manfaat. Cacing menggemburkan tanah, sapi memberikan susu dan daging, sayuran menjadi makanan bergizi, bahkan sampah dan kotoran yang jijik sekali pun bisa dimanfaatkan menajdi pupuk. Mana mungkin manusia yang Allah muliakan tidak bermanfaat? Saat kita tidak bermanfaat bagi yang lain, bahkan memberi mudharat, boleh jadi derajat kita (maaf) lebih rendah dari sampah!

Sahabatku, sangat ideal bila setiap selesai salat kita bertanya pada diri, pengorbanan yang telah saya lakukan sampai waktu ini? Apakah orang lain merasakan manfaat dari kehadiran saya? Semakin sering kita bertanya pada diri, insya Allah kita akan semakin mudah berbuat kebaikan.

Lama kelamaan berbuat baik pun menjadi sebuah kebiasaan. Kita bisa mulai menikmati pengorbanan dari yang hal kecil-kecil. Misal, merapikan sandal di masjid, memungut sampah, menyeberangkan orangtua di jalan, membonceng teman dan sebagainya. Setelah itu kita bisa menaikkan pengorbanan diri, misal dengan membantu sesama, membayar pengobatan saudara kita yang sakit, membiayai sekolah anak saudara dan tetangga kita, atau membuka lapangan kerja.

Memasuki dunia pengorbanan dengan hati ikhlas, bagaikan memasuki dunia lain. Dunia penuh makna, dunia kenikmatan, dan dunia tanpa belenggu. Wallaahu a’lam bishshawwab. (KH. Abdullah Gymnastiar)