Asiknya Menjelajahi Masa lampau di Museum Surabaya

Coba ingat kembali, kapan terakhir kali Anda berkunjung ke museum? Tidak perlu malu jika jawabannya sekitar 10 atau 15 tahun yang lalu. Ya, masyarakat di Indonesia memang belum memiliki tradisi menjadikan museum sebagai tempat wisata atau penghibur lelah kala akhir pekan. Nah, anggapan tersebut berusaha didobrak oleh Museum Surabaya. Ada keunikan yang membuat Anda dijamin betah berlama-lama di museum ini.

Mengapa dibilang unik? Karena museum yang terletak di Jalan Tunjungan itu (tepatnya di sudut bertemunya Jalan Tunjungan dan Jalan Genteng Kali), awalnya dibangun bukan sebagai museum. Tapi, dibangun sebagai salah satu gedung sentra bisnis sejak dari zaman kolonial. Wow! Jadi usia gedung ini sudah sangat tua. Melintasi tiga masa, yakni masa kolonial Belanda atau Inggris, kemudian penjajahan Jepang, hingga masa kemerdekaan.

Pada masa kolonial Belanda atau Inggris, gedung tersebut digunakan sebagai pusat toko serba ada. Pun ketika Jepang menjajah Indonesia, gedung ini tidak bergeser fungsinya sebagai toko yang menjual koper merk ternama kala itu.

Saat Jepang kalah dan angkat kaki dari Indonesia, gedung ini beralih tangan ke sejumlah pengusaha lokal, yang kemudian mengabadikan akronim nama mereka sebagai nama gedung tersebut, yakni SIOLA. Nama ini ternyata membawa hoki tersendiri, karena Gedung Siola pun menjelma sebagai pusat perbelanjaan terbesar atau mall pertama di Surabaya.

Nyaris selama tiga dekade, Gedung Siola ramai dengan riuh rendahnya aktivitas perbelanjaan. Memasuki tahun 1998, kala perekonomian Indonesia terpuruk ke titik nadirnya (krisis moneter), berimbas pada menyusutnya aktivitas jual beli di gedung tersebut. Gedung Siola pun pada tahun yang sama dinyatakan tutup.

Karena Risma, Siola Hidup Kembali

Adalah Walikota Risma (Tri Rismaharini) yang berinisiatif menghidupkan kembali pamor Gedung Siola yang dulu pernah jaya. Pada pertengahan tahun 2015, Risma secara resmi membuka kembali gedung tersebut. Tapi, dibuka tidak sebagai pusat perbelanjaan sebagaimana dulu gedung tersebut difungsikan. Risma lebih memilih menjadikan Gedung Siola sebagai tempat yang menyimpan sejarah Kota Surabaya mulai dari masa kolonial, awal kemerdekaan, hingga sekarang.

Keputusan Risma ini amatlah tepat. Menjadikan Gedung Siola sebagai museum adalah investasi bagi masa depan kota ini. Daripada menjadikannya kembali sebagai pusat perbelanjaan atau mall yang keberadaannya kini menyesaki Kota Surabaya, kehadiran museum yang menyimpan sejarah Surabaya jauh lebih berfaedah.

Tidak sekadar mengajak orang-orang untuk menghamburkan uangnya dan menyuburkan pola hidup konsumtif ketika mengunjungi mall/pusat perbelanjaan, kehadiran Gedung Siola sebagai museum akan membuat siapa saja menjadi terbuka wawasannya. Karena museum mengajarkan bahwa setiap masa yang terlewat, ada nilai pembelajaran tentang kehidupan yang bisa dipetik generasi selanjutnya. Mempelajari masa lalu bukan semata mengetahui rangkaian peristiwa yang telah terjadi, tapi bagaimana peristiwa dari masa lalu itu sebagai petunjuk mewarnai masa sekarang dengan lebih beradab dan bermartabat.

Kapsul Waktu Sejarah Surabaya

Menjadikan museum sebagai wisata edukasi adalah tantangan pelik yang tidak setiap pengelola museum berhasil melakukannya. Banyak museum di Indonesia nasibnya berakhir nyaris serupa dengan benda-benda yang ia pajang. Yakni menjadi tua, lapuk, dan akhirnya terlupakan.

Nah, dari sekian banyak museum yang berakhir tragis, Museum Surabaya bukanlah salah satu di antaranya. Sering dikunjungi dan memperoleh apresiasi dari banyak orang, museum ini pun menjadi kebanggaan warga Surabaya. Jika di kota lain, banyak museum yang terbengkalai pengelolaannya, Museum Surabaya sebaliknya. Mendapat limpahan dana langsung dari Pemerintah Kota Surabaya, menjadi museum tersebut bisa memoles dirinya dengan tampilan spektakuler, dan menyimpan atau mengumpulkan koleksi benda-benda bersejarah tanpa dihinggapi kekhawatiran terkait dana operasional.

Hal ini membuat Museum Surabaya seakan menjadi kapsul waktu sejarah Kota Surabaya. Masa silam Surabaya yang penuh dengan peristiwa heroik, seakan tergambar jelas dengan keberadaan benda-benda bersejarah pada masanya. Seperti replika biola dari maestro legendaris Indonesia, WR. Soepratman. Meski WR. Soepratman lahir di Jakarta, tapi ia meninggal dan dikebumikan di Kota Surabaya. Dan sebagai wujud penghormatan terhadapnya, replika biolanya dihadirkan di museum ini.

Atau jika hendak mundur lebih ke belakang, yakni pada masa kolonial Belanda/Inggris dan pendudukan Jepang, banyak terserak barang-barang yang menghidupkan kembali kenangan pada masa-masa tersebut. Benda-benda seperti dokumen tua dan bersejarah, berpadu dengan mobil antik atau angkutan kuno yang pada masanya sempat berjaya. Belum lagi dengan peralatan sehari-hari yang boleh jadi pada masanya dianggap biasa saja, tapi ketika ia dilihat secara langsung pada masa sekarang, tentunya menimbulkan kesan luar biasa. Seakan melakukan perjalanan waktu dari masa sekarang ke masa lampau.

Oleh karena itu, Museum Surabaya berupaya terus menambah koleksinya. Meski saat ini telah memiliki lebih dari 1.000 koleksi, tidak membuat pengelola museum berpuas diri. Berbagai barang sejarah yang dianggap berperan penting dalam sejarah Kota Surabaya, terus-menerus dikumpulkan. Suatu usaha yang ambisius, karena mengumpulkan benda bersejarah mulai dari walikota pertama Surabaya, yakni A Meyroos, hingga walikota saat ini, Tri Rismaharini, bukan perkara gampang. Usaha luar biasa sukar dan layak mendapat jempol. Salut! (daaruttauhiid)