Berhala, Upaya Mengambil Alih Eksistensi Rasulullah

“Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa´, Yaghuts, Ya´uq, dan Nasr.’” (QS. Hud [71]: 23).

Modus penjerumusan manusia melalui musik dan tarian sudah mampu terpatahkan oleh gerakan Nabi Idris as. Iblis laknatullah harus mencari modus baru untuk kembali “menenggelamkan” manusia dalam kesesatan. Tentunya harus berbeda dengan modus-modus sebelumnya.

Mencermati isi ajaran tauhidullah yang tidak membedakan seseorang, Iblis laknatullah pun menemukan ide untuk membuat perbedaan dalam status sosial masyarakat. Lalu Iblis membisikkan idealisme ini kepada shudur (dada) para bangsawan (sebagai pihak yang dianggap memiliki status sosial yang tinggi). Mereka pun mulai terkelabui.

Selanjutnya, para bangsawan mendatangi Nabi Nuh as. Mereka menyampaikan ajaran Allah SWT yang mulia harus digulirkan oleh orang-orang mulia pula. Maka mereka menawarkan diri untuk menjadi bagian dari aparatur Nabi Nuh, dan memintanya supaya meninggalkan orang-orang beriman sebelumnya yang terdiri dari orang-orang miskin dan lemah.

Nabi Nuh menolak keras. Beliau mengatakan tidak boleh ada perkara yang dilakukan di luar kewenangannya. Kewajiban beliau hanyalah menyampaikan wahyu Allah kepada segenap umat tanpa ada kewenangan mengutak-atik isi wahyu demi kepentingan sekelompok orang atau golongan.

Para bangsawan tidak senang dengan perlakuan ini. Mereka terus mencoba menyampaikan argumennya. Namun Nabi Nuh tetap kuat memegang teguh petunjuk yang telah sampai kepadanya. Semakin kuat mereka mendesak, semakin kuat pula Nabi Nuh mempertahankannya.

Para bangsawan sadar bahwa Nabi Nuh tidak bisa diajak kompromi. Mereka lalu bersepakat membuat makar. Mereka berpikiran satu-satunya jalan keluar adalah mencari tandingan yang bisa mengalihkan perhatian masyarakat dari Nabi Nuh. Mereka berpikir keras dan lambat laun akhirnya menemukan jalan keluarnya.

Maka diputuskanlah akan ada ajaran yang dipopulerkan di masyarakat yang diambil dari para tokoh saleh pada zaman sebelumnya. Terpilihlah lima tokoh saleh yaitu:1) Wadd (tokoh populer di daerah Dimât al-Jandal), 2) Suwâ (tokoh populer di daerah Yanbû, sekitar Madinah), 3) Yaghūts (tokoh populer di daerah Saba), 4) Ya`ûq (di daerah Khaywan yang berjarak 2 malam perjalanan menuju Mekkah), dan 5) Nasr (di daerah Balkha yang ada di Yaman).

Karena besarnya pengaruh para bangsawan di hadapan masyarakat, kelima ajaran ini berkembang menjadi sangat populer. Apresiasi masyarakat terhadap ajaran ini merebak dengan cepat. Akibatnya, setiap Nabi Nuh datang dan menyampaikan wahyu, masyarakat selalu menyanggahnya dengan mendasarkankan kepada ajaran yang mereka dapat dari kelima tokoh itu.

Semakin hari, masyarakat Nabi Nuh semakin menjauh. Mereka tidak segan menyumbat telinga dengan jari-jari tangannya karena enggan mendengar perkataan Nabi Nuh. Bahkan mereka berperilaku sangat lancang sekali dengan mengatakan bahwa ajaran Nabi Nuh tidak ada apa-apanya dibandingkan ajaran kelima tokoh itu. Mereka merasa bangga dengan ajaran barunya ini.

Umat Nabi Nuh (Bani Rasid) mengekspresikan ajarannya ke dalam simbol-simbol. Maka dibuatlah tiga simbol yang dijadikan media pengabdian mereka yaitu: 1) Ansab, adalah batu yang digunakan saat pengorbanan, 2) Awsan, adalah batu pengganti berhala yang harus dibawa ke mana pun saat bepergian, dan 3) Asnam, adalah patung besar yang dibentuk menyerupai kelima tokoh itu. Asnam inilah yang mereka simbolkan sebagai berhala sebenarnya.

Demikianlah upaya para pembesar yang mencoba melakukan makar terhadap nabi dan rasul-Nya. Mereka menghadirkan berhala lalu meminta masyarakat untuk menyembahnya. Mereka menjadikan berhala ini sebagai media meminta rezeki dan memohon perlindungan. Mereka benar-benar mencintainya, rela berkorban untuknya, dan menjadikannya sebagai sumber ketenangan. Padahal, berhala sebenarnya tidak memiliki kekuatan apa-apa kecuali “bersikap” pasif saja menerima perlakuan sesuai kehendak manusia kepadanya. Wallahu a’lam. (diambil dari buku 101 Kisah Nabi & Rasul, karangan Ust. Edu)