Berilmu sebelum Beramal

”Adakah sama orang-orang yang tahu
dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS Az-Zumar [39]:9)

Ayat yang pertama turun kepada Rasulullah saw. adalah tentang perintah membaca, mengumpulkan informasi yang terserak agar menjadi kesatuan untuk kemudian ditelaah sehingga melahirkan sebuah makna yang bisa dipahami. Itulah perintah IQRA. Apabila kita menjalankan iqra dalam hal apa pun, niscaya Allah Ta’ala akan membukakan aneka kebaikan dan kemanfaatkan dari apa yang kita lakukan tersebut. Shalat, zakat, puasa, berhaji, dan semua amal ibadah tidak akan lagi menjadi misteri yang tertutup tabir gelap apabila kita mengawalinya dengan proses iqra.
Sejatinya, ibadah kita menjadi tidak optimal karena konsep iqra kita tidak jalan. Padahal, secara hierarki, sebelum beriman dan beramal saleh, kita diperintahkan untuk melakukan proses berpikir terlebih dahulu. Simaklah firman Allah Azza wa Jalla pada awal surah Al-Baqarah ketika menjelaskan karakteritik orang-orang bertakwa.
”Alif Lâm Mîm. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-Baqarah, 2:1-5)
Di sini terungkap sebuah pernyataan bahwa Al-Quran adalah kitab yang tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. Maka, dia dapat dijadikan panduan untuk meraih kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. Tentu saja, untuk mengikis keraguan ini, seorang Muslim diwajibkan untuk melakukan proses iqra, membaca, menelaah, dan menghayati kitab suci tersebut. Apabila proses ini berjalan baik, niscaya akan tumbuh keimanan dan keyakinan yang kemudian berbuah amal saleh yang istiqamah.
Itulah mengapa, Allah Ta’ala menjadikan risalah yang diturunkannya melalui perantaraan Rasulullah saw. sebagai sekumpulan nilai dan praktik yang bersifat terbuka. Artinya, setiap orang bisa mengeksplorasi makna di dalamnya melalui proses berpikir yang sistematis sehingga dia bisa mengungkap nilai-nilai kebenaran yang ada.
Mengapa mata kita yang dua ini ada di depan, sedangkan otak yang mengaturnya ada di bagian belakang? Tujuannya jelas, agar yang terlihat dapat kita maknai terlebih dahulu karena sudah ada prosesornya di otak. Dengan posisi yang seperti ini, kita pun bisa mengenal gambaran tiga dimensi karena cahaya yang masuk disilangkan. Kita pun bisa mendalami kedalaman pandang sehingga kita bisa menentukan jarak secara presisi.
Itulah sebabnya, untuk ibadah apapun, syarat yang pertama kita harus memiliki ilmu yang mencukupi sehingga ibadah kita bisa benar. Allah Ta’ala menghisab kita bukan karena shalatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, menikahnya, akan tetapi karena tidak mau melaksanakannya atau mau melaksanakannya tetapi tidak ikhlas. Jadi, faktor motivasi atau niat menjadi kunci yang menentukan penilaian Allah Ta’ala terhadap amal yang kita lakukan. Mengapa seseorang tidak punya motivasi? Sebab utamanya adalah karena dia tidak memiliki pengetahuan. Itulah sebabnya menuntut ilmu menjadi sebuah kewajiban.
Hormon endorfin, serotonin, dan oksitosin pun, yang sangat mempengaruhi kebahagiaan hidup manusia, akan dihasilkan oleh tubuh berdasarkan prasangka. Bukankah Allah Ta’ala berfirman, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku”? Pertolongan Allah pun sangat dekat dengan kemampuan kita dalam mengoptimalkan potensi-potensi yang telah Allah berikan.
Tidak apa-apa kita tidak mengerti yang namanya endorfin, tetapi kita tahu bahwa ada rasa cinta dalam tubuh kita. Tidak apa-apa kita tidak mengerti yang namanya serotonin, tapi kita tahu bahwa ada rasa tenang di dalam diri yang harus kita pupuk dan harus kita tumbuhkan dalam diri. Tidak apa-apa kita tidak mengerti yang namanya oksitosin, tapi kita tahu ada rasa empati di dalam diri yang harus kita jaga agar bisa bermualamah secara optimal. Istilah bisa kita lihat belakangan, yang penting kita bisa menjaga dan mengembangkan potensi dalam diri tersebut.
Konsep dan filosofi dasar itu yang harus kita camkan sehingga amal ibadah yang kita lakukan membawa dampak positif dalam kehidupan. Jika tidak, aneka kesusahan akan membelenggu perjalanan hidup dari awal hingga akhir; mulai dari tidak adanya orientasi yang jelas dalam hidup, amal ibadah tidak diterima, rasa gundah gulana akan mendominasi jiwa, hingga terlindas oleh derasnya arus perubahan zaman. Ingatlah sebuah pesan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ”Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu, dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Oleh : Tauhid Nur Azhar, sumber foto : deviantart.com/saurukent)