Berkenalan dengan Stres

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta …”

(QS Thâhâ [20]:124)

 

Kata “stres” adalah satu dari sejumlah istilah psikologi yang sudah sangat familiar di telinga. Tidak hanya familiar dalam istilah, dalam praktiknya pun, disadari atau tidak, gejala stres menjadi bagian keseharian kita. Terkadang kita begitu bersemangat dalam bekerja, seakan-akan energi kita tiada batasnya. Namun, terkadang pula kita merasa letih, lesu, loyo, kehilangan mood, bete, hingga merasakan keluhan fisik yang tidak jelas dari mana asalnya. Semua itu sesungguhnya adalah bagian dari stres.

Secara sederhana, stres dapat diartikan sebagai reaksi atau respons tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap stresor psikologis, semacam tekanan mental, beban kehidupan, dan aneka permasalahan. Lihatlah bagaimana respons tubuh ketika kita harus menghadapi beragam target dan beban kerja yang berlebihan. Apabila kita sanggup mengatasi beban tersebut, artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, pada saat itu kita bersangkutan tidak mengalami stres. Namun sebaliknya, jika ternyata kita mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga kita tidak mampu menjalankan pekerjaannya secara optimal, pada saat itu kita mengalami distres.

Itulah mengapa, tidak semua bentuk stres bermakna negatif (buruk). Ada stres yang positif (eustres) dan ada pula stres yang negatif (distres). Bahkan, Dr. Hans Seyle—seorang peneliti masalah stres—mengatakan eustres dapat mengoptimalkan sistem kekebalan tubuh, merawat kebahagiaan, dan meningkatkan harapan hidup.

***

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang gejala stres, kita perlu melihat apa dan bagaimana stres itu sebenarnya; apakah stres itu sebuah gejala tunggal ataukah sebuah proses. Untuk itu, kita dapat merujuk pada pendapatnya Dr. Robert van Amberg.

Menurut van Amberg, stres itu memiliki enam tahapan. Tahap I adalah stres paling ringan. Seseorang akan dihinggapi gejala stres yang berkonotasi positif, seperti bertambahnya semangat kerja, penglihatan menjadi lebih tajam, meningkatnya rasa senang terhadap pekerjaan, dan mampu menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari biasanya. Orang yang mengalami stres Tahap I sebenarnya menghabiskan cadangan energi yang dimilikinya.

Ketika stres Tahap I selesai, ia akan memasuki stres Tahap II. Jika pada awalnya menyenangkan, pada tahap ini seseorang mulai merasakan aneka keluhan sebagai akibat tidak cukupnya cadangan energi, seperti cepat lelah—khususnya pada sore hari, merasa letih ketika bangun pagi, jantung berdenyut lebih cepat dari biasanya alias berdebar-debar, tidak bisa santai, dan otot-otot mulai terasa tegang.

Apabila keluhan ini tidak dihiraukan dan terus memaksakan bekerja, stres pun akan memasuki tahap III, aneka penyakit mulai berdatangan, semacam insomnia, diare, maag, meningkatnya ketegangan emosi, dan terganggunya sistem koordinasi tubuh—badan terasa lunglai dan mau pingsan. Pada tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan terapi, atau melakukan terapi sendiri dengan mengurangi beban emosi dan fisik.

Jika hal ini dibiarkan, stres tahap IV pun akan muncul. Gejalanya biasanya lebih berat, sebagai contoh: seseorang sangat sulit untuk bertahan walau hanya satu hari, tidak mampu lagi menyelesaikan pekerjaan rutin, hilangnya kemampuan untuk bersikap tanggap terhadap situasi, pekerjaan yang awalnya menyenangkan menjadi membosankan dan tampak sulit, menurunnya konsentrasi dan daya pikir,  dan mulai muncul perasaan takut dan cemas yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Jika keadaan terus berlanjut, seseorang akan jatuh pada stres Tahap V yang ditandai dengan: kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam, tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaan rutin walaupun itu ringan, gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastro intestinal disorder), perasaan takut, kecemasan, dan kepanikan yang semakin meningkat, yang bersangkutan pun menjadi mudah bingung.

Puncaknya adalah stres Tahap VI. Inilah klimaks dari lima tahapan sebelumnya. Seseorang akan mengalami serangan panik dan perasaan takut mati. Orang yang terkena stres Tahap VI ini seringkali harus masuk UGD berkali-kali karena beratnya keluhan yang diderita, walau secara medis tidak ditemukan “kelainan” pada fisiknya. Gambaran stres Tahap VI dapat dilihat dari beberapa gejala berikut: debaran jantung sangat keras, sulit bernapas, badan gemetar, keringat dingin mengucur deras, tidak lagi memiliki tenaga untuk melakukan hal-hal kecil, mengalami pingsan atau kolaps.

***

Dengan demikian, stres sebenarnya merupakan sebuah proses, notabene ada tahap-tahap tertentu. Ya, mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Stres Tahap I dan II dapat dikatakan masih berada pada tahap kewajaran, di mana semua orang pernah merasakannya. Namun, stres mulai tidak wajar apabila sudah mendatangkan gangguan fisik dan kejiwaan. Untuk menjaga kewajaran stres yang kita alami, kita harus memiliki keseimbangan dalam hidup, cukup istirahat, makan, relaksasi, mau memaafkan, dan tidak memaksakan diri apabila gejala-gejala stres datang.

Tentu, bagi seorang Muslim, jangan pernah lepas dari dzikrullah. Bagaimana tidak, mengingat Allah dalam beragam bentuknya, baik berupa ibadah ritual, tilawah Al-Quran, tafakur, atau dzikrul lisân adalah metode terbaik untuk menjaga keseimbangan diri sekaligus meningkatkan kualitas hidup. Terungkap dalam Al-Quran,

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.” (QS Ar-Ra’d[13]:28)

(oleh : Tauhid Nur Azhar)