Energi Cinta Seorang Ibu

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (QS. Luqman [31]: 14).

Dalam ayat tersebut, Allah SWT perintahkan kepada kita kewajiban berbuat baik kepada orangtua. Lebih lanjut disiratkan pengorbanan seorang ibu. Jika dijabarkan, pengorbanan ibu tidak sekadar mengandung, menyusui, lalu menyapih, tapi ada peran lain yang harus ‘dimainkan’ yaitu peran membesarkan anaknya. Walaupun sudah lepas dari tugasnya, perasaan ibu tidak akan tenang sebelum anaknya dewasa, hingga membina rumah tangga. Maka wajarlah jika ada ungkapan, kasih sayang ibu tidak lekang dimakan zaman.

Pengorbanan lain seorang ibu tergambar jelas dalam perhatian dan keprihatinannya. Bila anaknya sakit, maka ia pun merasakan sakit. Bila anaknya tidak mau makan, maka ibu bersikeras agar ada satu, dua suap nasi yang masuk. Bila anaknya merengek minta uang, ibu berusaha mendapatkannya meski harus pinjam sana-pinjam sini. Semua ibu lakukan atas dasar kasih sayang bagi anaknya.

Dengan demikian, menjadi kewajaran jika dekapannya menjadi obat dikala anak sakit, belaiannya menjadi penangkal disaat anak resah, air matanya menjadi doa kebahagiaan anak. Kasih sayang yang ditiupkan menjadikan anaknya orang-orang terhormat. Namun, mengapa masih ada anak yang membenci bahkan tega membunuhnya? Setitik ketidakpuasan dirasanya sebongkah kekurangan.

Mungkin saja itu terjadi atas dasar khilaf. Khilaf akan energi cinta yang ibu berikan. Padahal dalam jiwa ibu ada telaga yang tidak pernah kering. Bisa kita lihat banyak ibu yang bekerja mati-matian agar anaknya bisa sekolah, bisa makan, bisa menikmati hari-hari seperti anak-anak yang lain. Meski harus mengumpulkan sampah kering, menyapu jalanan, menjadi kuli cuci; walaupun sengatan mentari menusuk kulit, jilatan cacing mengoyak perut, tak dirasa. Dia rida. Energi cintalah yang menjadikannya tegar.

Bakti Kita kepada Ibu
Banyak hal yang bisa dilakukan sebagai bakti kita kepada ibu. Allah menegaskan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap orangtua (ibu). Kita diperintahkan untuk bersikap merendah, berbicara penuh rasa hormat, berbakti, dan memohon ampunan serta kasih sayang (QS. al-Isra [17]: 23-24).

Ketetapan Allah ini menggariskan bahwa sudah menjadi kewajiban kita untuk memuliakan ibu. Seiring dengan Allah menanamkan dalam diri ibu keinginan untuk dihormati, keinginan akan diperlakukan baik, dan dengan pengorbanannya, ibu mengharapkan penghormatan dari anaknya. Keinginan ibu untuk dimuliakan oleh anak-anaknya bukan saja dalam bentuk tingkah laku lahir, tapi juga batin.

Sebagai bukti, ada perintah Allah untuk mendoakannya, “Ya Allah kasihanilah ke dua ibu bapak-ku sebagaimana mereka telah memeliharaku waktu kecil.” (QS. Al-Isra [17]: 24); “Ya Allah, berilah ampun aku dan kedua ibu bapak ku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS Ibrahim: [14]: 41); “ …….Ya Allah tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai, berikanlah kebaikan padaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.. …” (QS. al-Ahqaf [46]: 15).

Doa dalah sikap batin yang tidak bisa dipaksakan oleh kekuatan luar. Doa hanya muncul karena kesadaran batin yang tinggi. Kesadaran bahwa mendoakan ibu suatu bakti dan salah satu indikasi penghambaan kita kepada Allah. Oleh karena itu, kita dituntut untuk bersikap tulus dan penuh rasa hormat, agar tali-tali gaib yang ada dalam doa dapat kita rasakan. Wallahu’alam bishawab. (daaruttauhiid)