Gambaran Masyarakat Arab Jahiliyah (Bagian 1)

Setelah pada tulisan sebelumnya dibahas kondisi politik dan agama di Jazirah Arab, maka sekarang kita masuk pembahasan tentang kondisi sosial politik dan moral bangsa Arab masa sebelum kenabian.

Kondisi Sosial

Terdapat beragam klasifikasi dalam tatanan masyarakat Arab, di mana antara satu dengan yang lainnya memiliki kondisi berbeda-beda. Hubungan seorang laki-laki dengan keluarganya di lapisan kaum bangsawan mendapatkan kedudukan yang amat terpandang dan tinggi. Mereka mendapatkan kemerdekaan kehendak dan pendapat yang mesti didengar. Hubungan ini selalu dihormati dan dijaga sekali pun dengan pedang terhunus dan darah yang tertumpah.

Jika seorang laki-laki yang ingin dipuji karena kemurahan hati dan keberaniannya di mata orang Arab, hendaklah waktunya yang banyak hanya dipergunakan untuk berbicara dengan para perempuan. Jika seorang perempuan menghendaki, dia dapat mengumpulkan suku-suku untuk kepentingan perdamaian, namun juga dapat menyulut api peperangan di antara mereka. Meskipun demikian tak dapat disangkal lagi bahwa seorang laki-laki adalah kepala keluarga dan yang menentukan sikap di dalamnya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung melalui akad nikah dan diawasi oleh para wali pihak perempuan. Seorang perempuan tidak memiliki hak untuk menggurui.

Sementara kondisi kaum bangsawan amatlah dimuliakan, kondisi yang dialami oleh lapisan masyarakat lainnya amat berbeda. Terdapat beragam gaya hidup yang bercampur baur antara kaum laki-laki dan perempuan. Hanya bisa dikatakan bahwa semuanya berupa pelacuran, gila-gilaan, pertumpahan darah, dan perbuatan keji.

Pernikahan Masa Jahiliyah

Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Ummul Mu`minin ‘A`isyah bahwa pernikahan pada masa jahiliyah terdiri dari empat macam. Pertama, pernikahan seperti pernikahan orang sekarang, yakni seorang laki-laki mendatangi laki-laki yang lain dan melamar perempuan yang berada di bawah perwaliannya atau anak perempuannya. Kemudian dia menentukan mahar dan menikahkannya.

Kedua, seorang laki-laki berkata kepada istrinya ketika ia sudah suci dari haidnya, “Pergilah kepada si Fulan dan bersenggamalah dengannya.” Kemudian setelah itu istrinya ini ia tinggalkan dan tidak ia sentuh selamanya hingga tampak tanda kehamilan. Dan bila telah tampak tanda kehamilan lalu si suami masih berselera kepadanya, maka dia akan menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanya ingin mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah istibdha‘.

Ketiga, sekelompok lelaki dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul kemudian mendatangi seorang perempuan dan masing-masing menggaulinya. Jika perempuan ini hamil dan melahirkan, dia mengutus seseorang kepada mereka (sekelompok lelaki tadi). Maka ketika itu tak seorang pun dari mereka yang dapat mengelak hingga semuanya berkumpul kembali dengannya, lalu si perempuan ini berkata kepada mereka, “Kalian telah mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini adalah anakmu wahai Fulan!” Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari mereka, Maka anaknya dinasabkan kepadanya.

Keempat, banyak laki-laki mendatangi seorang perempuan sedangkan si perempuan ini tidak menolak sedikit pun laki-laki yang mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur. Di pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol siapa pun bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, laki-laki yang pernah mendatanginya tersebut berkumpul lalu mengundang ahli pelacak (al-Qafah). Kemudian si ahli ini menentukan nasab sang anak tersebut kepada siapa yang cocok dan memiliki kemiripan. Lantas dipanggil si anak tersebut sebagai anaknya. Dalam hal ini si laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menyangkal.

Ketika Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw, beliau menghapus semua bentuk pernikahan kaum jahiliyah tersebut dan menggantikan dengan pernikahan cara Islam yang berlaku saat ini. Dalam tradisi jahiliyah, pemenang dalam perang antar suku berhak menyandang perempuan-perempuan suku yang kalah dan menghalalkannya. Anak-anak yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan mendapatkan kehinaan semasa hidupnya.

Kaum jahiliyah terkenal dengan kehidupan banyak istri tanpa batasan tertentu. Mereka mengawini dua bersaudara. Mereka juga mengawini istri bapak-bapak mereka bila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka, dan tentu hal ini kemudian diharamkan dalam Islam. (Gian)