Jadilah Busur untuk Mereka

Anak adalah kehidupan, mereka sekadar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu.

Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,

curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu

karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.

Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya,

karena jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi

bahkan dalam mimpi sekalipun.

Sepenggal puisi Khalil Gibran, begitu indahnya memotret apa dan bagaimana anak diperlakukan. Diarahkan tapi bukan untuk dibelenggu. Diajarkan tapi bukan dikungkung.

Kita tidak ingin berbicara untuk segala kepiluan yang melanda dunia mereka. Cukup sudah beragam kabar miris mulai dari ’dukun cilik Ponari’ yang terenggut dari bangku sekolah, cerita Lutfiana Ulfa yang harus memasuki dunia pernikahan dini ketika usianya baru 12 tahun, hingga kisah Manohara yang ’terjual’ ke negeri jiran.

Cukup sudah rasanya menggambarkan problema yang berkisar pada tindakan memperkerjakan anak, pemaksaan kehendak orang dewasa (kekerasan fisik maupun psikis), dan child trafficking (perdagangan anak) dalam beragam bentuk. Masalah yang tidak akan habis terbicarakan, apalagi terselesaikan. Dan jalan pemecahannya, kiranya masih terbentang jauh ke depan.

Kita hanya ingin bicara bagaimana memahami dunia mereka. Menjenguk dan melihat apa yang mereka pikirkan, rasakan dan inginkan. Berbagi mimpi sembari mengukirkan masa depan atas dasar talenta yang mereka miliki. Berbicara akan pengajaran dan bagaimana pendidikan yang ideal untuk anak-anak.

Ingatlah bahwa anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Demikian peringatan dari Kak Seto, psikolog yang berkecimpung di bidang Pendidikan dan Hak Anak. Setidaknya ini memberikan kita sebuah wawasan. Yaitu kesadaran untuk memahami serta mewujudkan keseimbangan hak dan kewajiban seorang anak. Pengajaran yang berbasis minat dan bakat mereka, bukan pada kehendak atau impian orang tua semata.

Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah

menuntut mereka jadi seperti sepertimu.

Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan

tidak tenggelam di masa lampau.

Nasihat Luqman pada Anaknya

Mendidik anak memanglah sukar. Jauh lebih sukar daripada berjibaku meniti karir di kantor. Kesabaran dan kreatifitas dalam mengembangkan potensi khas mereka tidak memiliki waktu senggang, libur maupun cuti. Ditambah lagi dengan keresahan akan masa depan dan kemampuan orang tua untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang tepat.

Susah, memang teramat susah. Apalagi dengan kecenderungan orang tua zaman sekarang untuk memperkuat anak secara akademis. Sejak dari Play Group (Kelompok Bermain) maupun TK (Taman Kanak-kanak), anak-anak kota besar sudah mulai terbebani dengan  segunung suguhan les atau bimbingan belajar. Kelas akselerasi, yaitu program percepatan masa sekolah pun menjadi idaman orang tua, namun menjadi momok bagi sebagian besar anak-anak.

Lalu, adakah yang salah dengan fenomena tersebut? Tidak bolehkah para orang tua mengharapkan anak-anak mereka meraih keberhasilan dalam nilai-nilai akademis? Berpacu dan berkompetisi dengan keunggulan-keunggulan di sekolahnya?

Tentu tidaklah salah sepanjang anak-anak juga merasa nyaman menjalaninya. Menjadi salah bila anak mengikuti hal itu dengan terpaksa. Setengah hati menjalani karena kehendak orang tua yang mengatasnamakan kasih sayang atau demi masa depan anak. Dan tidak peduli dengan talenta ataupun minat mereka.

Lupakan segala nilai IQ (Inteligent Quotient) atau beragam bentuk nilai akademis lainnya. Nilai-nilai itu hanya tinggal sekadar nilai bila dalam penerapannya anak-anak merasa terpasung. Latah mengikuti fenomena tersebut, berarti sama saja mengkerdilkan kecerdasan anak. Kecerdasan menghapal dan menghitung yang menurut Albert Einstein, binatang pun bisa menguasainya!

Ketika anak terlalu dituntut orang tuanya untuk menjadi apa yang mereka inginkan atau mengikuti apa yang mereka fikir benar, umumnya anak tersebut jadi tipikal anak pembangkang dibelakang orang tuanya. Didepan orang tua menjadi anak yang patuh, tapi dibelakangnya bertindak liar, berbuat semaunya. Kemungkinan lain, menjadi seseorang yang sangat tergantung dengan orang lain untuk menentukan hidup yang ia jalani.

Agaknya menjadi layak dicontoh ketika Luqman menasehati anaknya (dalam al-Qur’an surah Luqman [31]: 13-19). Bukan hanya dari sisi apa yang harus diajarkan (akidah, pelaksanaan berbagai taklif hukum, akhlak mulia) tapi juga pada bagaimana seharusnya didikan itu diberikan. Luqman mengemas proses didikan dengan begitu demokratis.

Telaah dan rasakan apa yang disampaikan Luqman di surah tersebut. Sebuah nasihat yang sama sekali jauh dari kesan arogansi orang tua kepada anak-anaknya. Menitah satu persatu nasihat sambil memancarkan aura kebijaksanan dan kasih sayang yang tak ada duanya. Menciptakan sebuah lingkungan psikologis yang baik bagi berkembangnya segala potensi positif anak.

Jadilah Busur untuk Mereka

Setiap anak memiliki bakat masing-masing. Mempunyai jenis kecerdasan yang spesifik sebagaimana ditemukan oleh Howard Gardner dengan teori Multiple Intelegensinya. Sehingga tugas utama orang tua adalah menemukan dan mengasah talenta atau kecerdasan tersebut. Ditambah dukungan maksimal dari orang tua, akan semakin memotivasi anak memperkuat talenta dan kecerdasan mereka.

Memang boleh kita bercita-cita menjadi apa anak kita nanti. Tapi ingatlah mereka punya pemikiran dan kehidupan sendiri. Beri mereka kebebasan dalam menggali pemikiran mereka, dan jadilah pendamping yang baik. Jangan pernah menganggap bahwa anak-anak adalah hasil karya kita (orang tua), karena mereka adalah hasil karya “Sang Pencipta” sama seperti kita.

Semoga sebagai orang tua, kita selalu bisa jadi busur untuk mereka. Sehingga dapat melesat cepat menuju kedepan, menuju kehidupan mereka. Menjadi sandaran dan tumpuan anak untuk maju menggapai impian. Dan kalaulah ada anak yang tidak sanggup untuk melesat kedepan, adilkah bila kita sebagai orang tua lantas menumpukan segala kesalahan kepada mereka?

Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.

Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.

Dia menentangmu dengan kekuasaan-Nya,

Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.

 

Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,

Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat

Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.

(Anakmu bukan Anakmu, Kahlil Gibran)

(Suhendri Cahya Purnama)