Kelahiran Ismail: Anugerah dalam Timbangan Momen dan Maksud

 “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” (QS. ash-Shaffat [37]: 100-101)

Nabi Ibrahim sudah berusia lanjut. Peluang memiliki anak semakin tipis. Namun, beliau menyerahkan segalanya kepada qudrah dan iradah Allah. Ia yakin Allah telah menyiapkan skenario terbaik baginya. Ia tanamkan sikap taat dan tunduk kepada perintah-Nya semata. Tidak berselang lama, Allah memberikan kabar gembira dengan tanda-tanda kehamilan istrinya.

Siti Hajar menunggu momen untuk menyampaikan berita ini. Ia khawatir kabar gembira tersebut berdampak tidak baik jika disampaikan di saat dan kondisi tidak tepat. Tindakan ini diambli sebagai langkah preventif atas dasar kepekaan nalarnya sebagai seorang ulil albab.

Nabi Ibrahim menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Beliau menyampaikan rasa syukur teramat sangat kepada-Nya. Beliau pun mengokohkan dan memerintahkan Siti Hajar agar semakin kuat dan yakin memegang perintahnya.

Sembilan bulan sang bayi berada dalam kandungan. Setelah saatnya tiba, sang bayi mendesak keluar. Bayi yang dinanti pun menghirup udara luar. Bayi ini kelak menghiasi panggung sejarah, Ismail namanya.

Penuh rasa syukur, Nabi Ibrahim menjamu Ismail kecil dengan perlakuan sesuai petunjuk-Nya. Rasa senang bercampur harap beliau satu-padukan dalam rangkaian doa yang selalu dipanjatkan. Berharap diri dan keturunannya mampu menjadi pemimpin bagi orang-orang bertakwa.

Allah Yang Maha Mengetahui membimbing sang hamba merealisasikan doanya. Tidak lama berselang dari hari kelahiran ini, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim agar membawa istri dan anaknya ke sebuah tempat yang gersang.

Nabi Ibrahim yakin dengan seluruh skenario Allah. Tanpa ragu, ia memerintahkan istrinya menyiapkan perlengkapan, lalu memandu mereka menuju tempat yang dituju, Mekah namanya. Setelah dirasa cukup, Nabi Ibrahim kemudian berpamitan.

Siti Hajar tidak kaget dengan perintah ini. Dengan modal pernyataan suaminya bahwa ini adalah perintah-Nya, dengan penuh semangat ia songsong skenario terbaik yang Allah tetapkan atas diri dan anaknya.

Sebelum meninggalkan Mekah, Nabi Ibrahim memanjatkan doa dan memohon agar daerah gersang tak berpenghuni ini bisa menjadi kota, dan orang-orang yang melewati tempat ini memiliki kecenderungan atas istri dan anaknya.

Kualitas generasi penyenang hati sekaligus calon pemimpin orang bertakwa harus bermental baja. Modalnya adalah pemahaman dan keyakinan atas Kemaha Rahman dan Rahim (-an) Allah. Momen kelahiran inilah yang Allah pilih untuk menggapai maksud tersebut. Allah hendak menunjukkan sejauhmana kekuatan seorang ibu sebagai wazir dan madrasatul uula di keluarga.

Siti Hajar mampu mengikhtiari harapan itu. Walaupun jauh dari bantuan suami, namun ia mampu menghidupi anaknya. Tidak hanya memenuhi kebutuhan jasmani Ismail, melainkan juga kebutuhan akliyah dan ruhaniahnya. Atas perkara di luar kemampuannya, Allah menganugerahkan karamah dan maunahnya. Salah satunya menganugerahkan mata air zamzam. Atas segala ikhtiar dan bantuan itulah, Mekah yang asalnya gersang diubah menjadi perkotaan.

Puncak ujian terjadi saat Ismail menginjak remaja. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menemui dan menyembelihnya. Sebuah perintah di luar nalar manusia bahkan batas kemanusiaan. Hebatnya, Siti Hajar serta Ismail mampu melewati ujian ini dengan sempurna. Inilah profil yang Allah tampakkan sebagai realisasi atas doa Nabi Ibrahim. Tampillah Ismail dewasa menjadi pemimpin yang diharapkan, yaitu imam bagi orang-orang bertakwa. Wallahu a’lam. (Oleh : Ustadz. Edu)

Sumber foto : sahara_by_s0cial_devintart