Keteguhan dan Ketegaran Rumaisha

Di balik seorang anak yang saleh/salehah, bisa dipastikan ada peran seorang ibu yang luar biasa. Begitu pun di balik seorang suami saleh, ada peran istri yang tak bisa dilepaskan darinya. Sebagian besar dari kita tentulah mengenal salah satu sahabat, khadimat (pelayan) Rasulullah saw yang mendampinginya sejak masa kanak-kanak. Beliau bahkan mendapatkan doa istimewa dari Rasulullah, yakni Anas bin Malik ra.

Sejarah mencatat Anas bin Malik memiliki seorang ibu bernama Rumaisha atau Ghumaisha, dikenal juga dengan sebutan Ummu Sulaim. Seorang muslimah dengan tiga kelebihan yakni kecerdasan, keberanian, dan kesabarannya.

Rumaisha Memilih Islam
Hampir setiap istri mencintai suaminya, apalagi bila suaminya pun mencintainya. Tak terkecuali dengan Rumaisha ra, namun cinta beliau diuji saat Islam datang ke Madinah tempat tinggalnya bersama suami dan putranya. Islam telah masuk ke relung hatinya. Menghunjam dalam sehingga ia mantap untuk memilihnya.

Namun di sisi lain Malik suaminya menolak Islam, bahkan sangat marah saat mengetahui istri yang dicintainya telah memeluknya. Hingga akhirnya sang suami pun mengajukan pilihan antara dirinya atau Islam. Rumaisha tanpa ragu lebih memilih Islam sebagai agamanya, dan meninggalkan agama nenek moyangnya. Tentunya pilihan itu bukan tanpa resiko, Malik pun meninggalkan Rumaisha dan pergi ke negeri Syam hingga wafat di sana.

Memberikan Hadiah Paling Berharga
Sepeninggal suami, Rumaisha hidup dalam kesederhanaan tanpa suami dan ayah bagi putranya. Hingga suatu ketika datanglah kabar tentang Nabi utusan Allah SWT. Para penduduk Madinah menyambutnya dengan suka cita dan memberikan hadiah terbaik bagi beliau.

Rumaisha pun berusaha memberikan hadiah terbaik miliknya. Beliau menyiapkan makanan terbaik yakni berupa kurma dan minyak samin. Namun sayang saat hadiah itu disuguhkan pada kekasih Allah tersebut, beliau dengan sangat halus mengatakan, “Maaf aku tidak bisa menerima hadiahmu karena aku sedang berpuasa, ambillah kembali.”

Rumaisha tidak berputus asa, ia tetap ingin memberikan hadiah terbaik untuk Nabi yang begitu ia cintai. Akhirnya ia memanggil putranya Anas bin Malik dan menawarkan padanya, apakah bersedia menjadi hadiah bagi Rasulullah saw. Dengan senang hati Anas bin Malik pun menerimanya, dan akhirnya di usianya yang ke 8 tahun Anas bin Malik dihadiahkan oleh ibunya kepada Rasulullah saw untuk menjadi khadimat beliau.

Meminta Mahar yang Mulia
Suatu hari, seorang pengusaha kaya bernama Abu Thalhah meminang Rumaisha/Ummu Sulaim. Anas mengisahkan cerita ini dari ibunya, “Sungguh tidak pantas seorang musyrik (penyembah berhala) menikahiku. Tidakkah engkau tahu, wahai Abu Thalhah, bahwa berhala-berhala sesembahanmu itu dipahat oleh budak dari suku anu,” sindir Ummu Sulaim. “Jika kau sulut dengan api pun, ia akan terbakar.”

Abu Thalhah pun berpaling ke rumahnya, dan kata-kata Ummu Sulaim membekas di hatinya sampai akhirnya beliau pun menerima agama yang ditawarkan Ummu Sulaim. Maka berlangsunglah pernikahan mereka. Ummu Sulaim tak meminta mahar apa pun selain keislaman Abu Thalhah.

Berbalas Surga
Dari Jabir, Rasulullah saw bersabda, “Ketika aku masuk Jannah, tiba-tiba aku melihat di sana Rumaisha, istri Abu Thalhah.” (HR. Bukhari).

Dalam hadis diriwatkan dari Anas dikatakan, bahwa ketika masuk Jannah, Nabi saw mendengar suara terompah seseorang. “Suara siapa ini?” tanya beliau. Kata para malaikat, “Itu suara Ghumaisha binti Milhan, ibunda Anas bin Malik.” (HR. Muslim). (Ana)