Masihkan Fatwa Diperlukan?

Fatwa di Indonesia yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ulama sering dicibir oleh sebagian orang. Sedikit sedikit fatwa, sedikit sedikit fatwa, fatwa kok sedikit sedikit? Mungkin demikian pendapat sebagian orang. Ada pun sebagian yang lain berusaha sekuat mungkin agar fatwa tersebut dihapus atau tidak diikuti oleh masyarakat.

Dalam konteks masyarakat kita, dikeluarkanya fatwa hampir selalu saja ada pihak yang keberatan. Pro dan kontra hampir selalu muncul, kendati yang kontra seringkali orang yang tidak paham terhadap hukum syariat.Fatwa sekulerisme, pluralisme dan liberalisme membuat kaum sepilis meradang. Menurut MUI, Islam menyetujui pluralitas (keberadaan masing-masing agama dan menghormati pemeluknya untuk beribadah sesuai dengan agamanya masing masing), namun MUI menyatakan haram terhadap pluralisme yang menganggap semua agama benar dan menyatakan tidak ada kebenaran absolut.

Rencana fatwa MUI tentang rokok ditentang oleh banyak pihak karena merugikan industri rokok yang menghasilkan milyaran rupiah pajak. Fatwa tentang tayangan infotainment ditentang oleh praktisi infotainment karena banyak juga yang bekerja di sana. Mungkin demikian salah satu alasannya. Begitu pun ketika ulama dari Jawa Timur mengeluarkan fatwa haramnya photo pra wedding, ojek perempuan, rebonding, dan sebagainya yang kemudian menuai ketidaksetujuan sebagian masyarakat terhadap fatwa ini.

Sikap terhadap Fatwa
Bagaimana seharusnya sikap kita sebagai orang Islam terhadap fatwa-fatwa tersebut? Apakah kita ikut-ikutan latah bahwa MUI terlalu gampang mengeluarkan fatwa. Menganggap fatwa-fatwa tersebut tidak mengindahkan nilai-nilai sosial, fatwa MUI mlepmem, gak ngaruh, nggak ngefek, dan sebagainya?

Fatwa tersebut hakikatnya ditujukan kepada umat Islam. MUI sebagai lembaga ulama yang ada di Indonesia memang sudah seharusnya menjelaskan kepada umat berbagai hal yang perlu untuk diketahui secara syariat, khususnya dengan munculnya berbagai masalah baru yang belum muncul pada zaman Rosulullah dahulu.

Tentu sebagian besar masyarakat kita tidak mempunyai kemampuan sendiri untuk meneliti hadis-hadis dan berbagai macam kitab karangan para ulama. Tentu sangat sedikit di antara kita yang memahami bahasa Arab dengan baik dan benar, sehingga jika muncul suatu masalah hukum, MUI yang akan mengeluarkan fatwa kepada masyarakat. Justru mengkhawatirkan jika sesuatu yang haram karena sudah lazim dilakukan dan sudah sangat banyak terjadi, seolah-olah menjadi dianggap halal, padahal tetap saja haram.

Berpacaran dalam Islam tidak boleh kendati banyak yang melakukannya. Tidak bisa kemudian hukumnya berubah menjadi boleh. Berfoto-foto berdua sebelum menikah dengan bergandengan, berpelukan, dan lain-lain untuk ditunjukkan kepada para undangan, memang tidak diperbolehkan para ulama karena memang belum menikah.

Melanggar dan Mengingkari
Jika pun mungkin sebagian kita belum mampu meninggalkannya karena suatu sebab, misalnya karena paksaan orangtua, tetap harus diyakini hal tersebut sebenarnya dilarang oleh agama. Berarti termasuk katagori melanggar bukan mengingkari, karena mengingkari hukum Allah dosanya sangat besar.

Ada kekhawatiran pengaruh media menjadikan sesuatu yang sebenarnnya tidak baik menurut Islam menjadi biasa-biasa saja.Bahkan di kalangan media Yahudi seperti yang ditulis oleh media-media besar Islam di Indonesia, ada istilah ‘ulangilah terus kesalahan, maka lama-lama ia akan diterima sebagai kebenaram’. Jika ini terjadi, sangatlah berbahaya. Menganggap halal apa yang sudah diharamkan oleh Allah SWT adalah dosa besar.

Melanggar sangat berbeda dengan mengingkari. Orang yang melanggar hukum Allah karena suatu sebab namun dirinya meyakini sebenarnya itu tidak boleh dilaksanakan, tentu berbeda dengan orang yang mengingkari hukum Allah tersebut. Apalagi ikut mencela dan menghalanginya. Apa jadinya jika karena ketidaktahuan seseorang menganggap yang sebenarnya haram itu dianggap halal? Disinilah fungsinya ulama menjelaskan, sehingga yang tidak mengetahui menjadi tahu.

Sebagian orang mungkin menganggap fatwa dari para ulama tidak ngefek, nggak ngaruh bahasa kerennya. Namun sebenarnya ulama tersebut telah selesai menjalankan tugasnya menjelaskan kepada masyarakat tentang masalah tersebut. Ada pun ngaruh atau tidak, itu urusan hati dari masing-masing orang karena MUI tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksa. Jangankan fatwa MUI, al-Quran yang sudah jelas saja masih banyak orang yang melanggarnya. Puasa Ramadan yang jelas wajibnya, masih begitu banyak orang yang dengan bangga melanggarnya.

Di sinilah perlunya sebuah pemerintahahan yang islami, yang mampu mengawal syariat Islam agar dilaksanakan oleh orang Islam. Di sinilah banyak orang Islam yang berijtihad untuk mempercerpat dakwahnya melalui jalur politik, karena salat memang urusan dan kewajiban pribadi, namun bagaimana meramaikan salat di perkantoran, zakat di berbagai lembaga pemerintah, bahkan menghukum orang yang tidak salat sebenarnya adalah keputusan politik. Kelengkapan Islam memang sesungguhnya mencakup segala sesuatu.

Semoga kita tidak menjadi orang yang membenci fatwa para ulama, karena kita adalah orang awam yang tidak mampu menelaah berbagai permasalahan begitu luas. Jika tidak ada fatwa ulama, tentu kita akan menjadi bingung terhadap banyaknya permasalahan di negeri ini. Patut kiranya kita mengucapkan terima kasih atas sumbangsih para ulama tersebut. (daaruttauhiid)