Membimbing Anak Mengelola Marah

Dalam satu dekade terakhir, perbincangan mengenai kecerdasan emosi (EQ) menjadi sebuah topik hangat dikalangan masyarakat. Kian banyak yang menyadari bahwa kesuksesan seseorang dalam hidupnya, tidak hanya dari kecerdasan intelektual (IQ) semata, namun juga salah satunya ditentukan oleh kepiawaiannya mengendallikan emosi secara positif. Karena itu, membimbing anak mengelola emosinya secara positif adalah hal utama yang kini harus dipelajari setiap orangtua.

Respon emosi yang paling sering ditunjukkan anak adalah marah. Maka, orangtua harus belajar mengenali penyebab marah dan cara meredakan marah anak. Dan, hal penting pertama yang harus orangtua pahamkan pada anak adalah bahwa marah adalah respon manusiawi, fitrah yang dimiliki setiap orang. Marah bukanlah sebuah perasaan yang salah, bila diungkapkan dengan bijak dan tepat. Jika orangtua mampu memahamkan hal ini, terlebih bisa mendampingi, membantu anak mengelola marahnya, insya Allah anak akan lebih mampu mengenali dan mengendalikan perasaannya, sekaligus dapat bertindak tepat, tidak merugikan dirinya atau oranglain. Sebaliknya, anak yang kurang pandai mengendalikan emosinya, akan tertekan, dan kurang mampu beradaptasi sosial dengan baik. Bahkan, bila berlanjut, marah yang tidak diekspresikan dengan baik, bisa membuat fisik anak terganggu. Misalnya, mudah sariawan, pilek, gugup, atau menjadi kurang percaya diri.

Penyebab Marah Anak

Beragam factor penyebab marah anak, diantaranya, pertama karena janji yang tidak ditepati. Seringkali orangtua menjanjikan sesuatu, namun tidak bisa menepatinya, Akibatnya, anak menjadi tidak percaya kepada orangtuanya. Maka, jika terpaksa tidak bisa menepati janji, orangtua harus segera minta maaf, juga memberi penjelasan yang sebenarnya kepada anak. Sebaliknya, upayakan tidak berjanji karena terpaksa, misalnya ketika anak sedang tantrum, sehingga orang tua berjanji bila ia berhenti mengambek, ia akan dibelikan boneka. Jika demikian, anak menganggap dengan bersikap begitu ia akan memperoleh apa yang ia inginkan, dan menjadikan marah sebagai senjata agar orangtua memenuhi kehendaknya.

Kedua, bisa jadi anak marah untuk menarik perhatian orangtuanya. Mungkin karena orangtua terlalu sibuk bekerja, atau karena hadirnya adik baru, sehingga anak merasa orangtua kurang memperhatikan dirinya. Untuk itu, orangtua harus pandai mencairkan suasana, misalnya dengan menggoda anak. Juga, sebaiiknya tetap bersikap tenang dan sabar. Barulah setelah kemarahan anak agak reda, sampaikan kepadanya bahwa ada banyak cara yang lebih baik untuk mendapat perhatian ayah bunda, misalnya dengan membuat prakarya sendiri, menyanyi, menghafalkan doa atau hal positif lainnya.

Jika anak marah karena hadirnya adik baru atau cemburu pada saudaranya, maka salah satu solusinya adalah jangan pernah membandingkan antara keduanya. Beri pemahaman bahwa setiap anak adalah kesayangan orangtuanya. Karena itu, perlakuan yang diberikan orangtua hendaknya juga bersifat individual, agar setiap anak merasakan bahwa ia benar-benar dicintai orangtuanya. Dan, yang juga penting adalah selalu libatkan anak untuk bermain dengan saudaranya, atau turut mengasuh adik bayinya. Sehingga, diharapkan anak bisa belajar berbagi dan lebih akrab, lebih sayang dengan saudaranya, insya Allah.

Sifat pemarah anak, bisa jadi merupakan ‘sumbangan’ dari orangtua atau lingkungannya. Artinya, anak meniru prilaku orangtuanya yang suka marah. Ia menganggap hal itu wajar, dan lazim, karena ia sering menyaksikannya dilakukan oleh orang dewasa disekitarnya. Atau, bisa jadi anak mencontoh respon emosi ini dari tayangan tv atau lingkungan sosialnya. Dalam hal ini, tentu orangtua harus menjadi teladan utama, dalam menunjukkan marah yang proporsional dan tepat kepada anak. Termasuk, lingkungan sekitar, atau media, yang mungkin agak sulit untuk dikompromikan, orangtualah yang mesti menjelaskannya kepada anak. Bahwa, marah boleh diekspresikan siapa saja, asalkan tepat, bukannya menambah masalah baru. Mungkin perlu sedikit waktu, namun yakinkah kecerdasan emosi anak pun akan terus terasah seiring dengan perkembangannya.

Orangtua yang terlalu memaksakan keinginan atau aturan kepada anak, juga dapat memicu anak menjadi marah dan kurang merasa dihargai. Mungkin, maksud orangtua adalah memilihkan yang terbaik bagi anak menurutnya, namun jika tidak dikomunikasikan dengan baik atau terlalu memaksakan, tentu menjadi hal yang salah. Efeknya jika berlanjut, ketika dewasa anak menjadi kurang pandai menyelesaikan masalahnya sendiri, sering bergantung kepada orangtuanya. Maka, meski sesekali kita memang harus memilihkan sendiri, namun tetap hargai pendapat dan pilihan anak. begitupun, dalam menegakkan aturan, atau disiplin, tunjukkan bahwa dengan disiplin hidup akan lebih teratur, dan bermanfaat untuk masa depannya kelak.

Namun, yang terpenting adalah kecerdasan emosi orangtualah yang harus lebih tertata apik. Anak adalah peniru ulung dari orangtua dan lingkungannya, sehingga meski upaya pemahaman mengelola amarah dilakukan kepada anak, tetap saja orangtualah yang harus memberi contoh. Jadi, orangtua harus mulai belajar, dan mengaplikasikan mengelola marah yang tepat, insya Allah. (Nurhayati)