Menafakuri Diri

Sahabatku, terkadang dalam hidup ini kita tidak harus selalu berlari untuk meraih apa yang diinginkan. Kadang berhenti sejenak merupakan cara terbaik untuk melanjutkan perjalanan. Berhenti sejenak untuk mengetahui apakah adanya resiko jika kita lanjut berlari atau harus berhati-hati melangkah.

Begitu juga saat kita menulis untuk sebuah karya. Kita tahu, di dalam sebuah kalimat akan enak jika memilki tanda baca jeda, titik, koma, dan tanda seru. Dan itu membuat kata-kata lebih bermakna. Sepertinya, banyak orang yang sangat sibuk. Seperti halnya kata-kata tanpa tanda baca. Terus saja bersambung. Ini tidak akan indah dan tak bermakna kalimat itu. Kita harus punya waktu untuk jeda dari kesibukan.

Sahabatku, kesibukan yang kita punya akan terus-menerus membuat kita tumpul dalam memahami siapa diri kita. Islam sudah mengajarkan jeda sehari lima kali dalam salat. Sesibuk apa pun, salat merupakan jeda terbaik untuk merestart dari kesibukan. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, akan terbiasa melupakan Allah Ta’alla.

Ketika jeda sejenak supaya kita mempunyai waktu evaluasi dan merenung. Apakah yang kita lakukan ini benar atau tidak? lalu mana yang harus dievaluasi, dan mana yang harus diperbaiki.

Setiap selesai salat, kita harus mencoba untuk mengevaluasi diri. Bisa saja selama berkegiatan melakukan kezaliman dan berkata tidak pantas. Waktu salat adalah waktu yang tepat. Rutinkan dan dicoba. Ini menjadi muhasabah yang bermakna, bahkan bisa berlanjut ke waktu salat tahajud. Jangan habiskan waktu tahajud hanya untuk salat saja, tapi dalam tahajud juga kita luangkan untuk bertafakur dan mengevaluasi diri.

Kita renungi dosa dan tafakuri karunia Allah SWT, karena yang paling mencelakakan adalah dosa kita. Penting kita menafakuri, membuka file dosa kita, khsususnya dosa ke orangtua.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ﴿١٣

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman [31]: 13).

Sahabatku, hati-hati dengan kemunafikan. Sangat memungkinkan kita memiliki sifat munafik. Coba periksa perkataan, perbuatan, dan hati kita. Jangan-jangan mulut kita berkata seakan telah dekat dengan Allah Ta’ala, padahal hanya di mulut saja. Salat saja tidak, misalnya. Apakah kita berbohong atau tidak dalam perkataan. Hati-hati dan ini harus kita bersihkan.

Perlu waktu untuk kita menafakuri semua ini. Perlu kesendirian, perlu ketenangan. Jadi, kadang-kadang kesulitan sederhana bisa menambah syukur terhadap apa yang Allah berikan.

Sahabatku, cobalah bertafakur saat tahajud atau saat di masjid. Bahkan saat di rumah, luangkan waktu menyendiri beberapa saat. Kita perlu saat-saat tidak harus ketemu orang. Mungkin beberapa waktu. Karena kalau terlalu padat dengan kesibukan, kita tidak akan tahu apa yang harus diperbaiki. Untuk general check up fisik kita saja perlu waktu, apalagi general check up hati kita. Dicoba dan istiqamahkan. Insya allah akan bermakna jika kita menjeda waktu untuk menyendiri.

(Kajian MQ Pagi, Senin 26 Oktober 2020)