Mencermati Kepemimpinan Rasulullah

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab [33]: 21).

Keteladanan Rasulullah dalam memimpin tak diragukan lagi. Tindak tanduk dan sepak terjang beliau dalam memimpin merupakan cermin pribadi mulia. Sebagai sosok pemimpin, beliau selalu mengedepankan nilai akhlak. Tataran ini kerap menjadi panutan generasi pada masanya dan sesudahnya.

Tataran akhlak yang ditampilkan Rasulullah bukan saja menjadi perisai kepribadian, melainkan juga mampu meluluhkan kekerasan hati siapa pun yang memusuhinya. Karena itu, Rasulullah dapat dikategorikan sebagai manusia istimewa. Keistimewaaan ini merupakan muara penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.

Keistimewaan yang ada dalam diri Rasulullah dapat kita selusuri dari rangkaian ayat-ayat Quran. Pada Quran, kita temukan para nabi sebelum Nabi Muhamad saw selalu diseru oleh Allah SWT dengan nama-nama mereka, Ya, Adam…, Ya Musa…, Ya Isa…, dan sebagainya.

Tetapi terhadap Nabi Muhamad saw, Allah sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan seperti, Ya ayyuhan Nabi…, Ya ayyuhar Rasul, atau memanggilnya dengan panggilan-panggilan mesra seperti, Ya ayyuhal muddatstsir, atau Ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut).

Kalau pun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut diiringi dengan gelar kehormatan. Perhatikan firman Allah dalam Quran surah Ali Imran [3]: 144, al-Ahzab [33]: 40, al-Fath [48]: 29 dan ash-Shaff [61]: 6.

Dalam kaitan ini dapat dipahami mengapa al-Quran berpesan kepada kita pada saat memanggil nama Rasul jangan seenaknya. “Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain…” (QS. an-Nuur [24]: 63).

Keistimewaan lain yang dapat dipaparkan berkaitan dengan pola kepemimpinan Rasulullah adalah: Pertama, pemimpin yang zuhud. Gambaran ini dapat kita simak dari salah satu riwayat. Rasulullah bersabda, “Tuhanku telah menawarkan kepadaku dengan menukar bukit-bukit di Mekah menjadi emas. Tetapi aku mengatakan kepada-Nya, ‘Ya Allah aku lebih suka makan sehari dan lapar pada hari berikutnya, jika aku dalam keadaan lapar, maka aku akan mengingat-Mu dan jika aku dalam keadaan kenyang, maka aku pun dapat memuji-Mu serta bersyukur atas nikmat-nikmat-Mu.’”

Kedua, pemimpin yang amanah dan profesional. Rasulullah pernah bersabda bahwa pemimpin adalah pelayan umat. Sikap amanah dan profesional Rasulullah ini diikuti oleh Khalifah Abu Bakar. Sebelum menjadi khalifah, Abu bakar adalah seorang pedagang kain. Beliau selalu sibuk dengan dagangannya itu. Setelah beliau baru dilantik menjadi khalifah, pada esok harinya dengan membawa beberapa helai kain di tangannya, beliau berjalan menuju pasar untuk berjualan seperti biasa.

Ketika itu ia berjumpa dengan sahabat Umar ra. Umar bertanya kepadanya, “Mau pergi ke mana engkau?” Abu Bakar ra menjawab, “Saya akan pergi ke pasar.” Lalu Umar berkata lagi, “Jika kamu menyibukkan diri dalam perdagangan di pasar, maka siapakah yang akan menjalankan tugas-tugas khalifah?”

Kemudian Abu Bakar menjawab, “Lalu bagaimana saya harus membiayai keluarga saya?” Umar berkata, “Marilah kita menjumpai Abu Ubaidah ra (julukan dari Rasululllah sebagai penjaga amanah baitul maal) agar ia menentukan uang gajimu.” Keduanya pun menjumpai Abu Ubaidah lalu ditetapkan tunjangan gaji bagi Abu Bakar, sama dengan yang biasa diberikan kepada seorang muhajirin, tidak kurang dan tidak lebih.

Pada suatu hari istrinya berkata kepada Abu Bakar, “Saya ingin membeli sedikit manisan.” Abu Bakar menjawab, “Saya tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya.” Istrinya berkata, “Jika engkau ijinkan, saya akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga saya dapat membeli manisan itu.” Akhirnya Abu Bakar pun menyetujuinya.

Maka mulai saat itu istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.

Namun Abu Bakar berkata, “Tampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita.” Lalu Abu bakar mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya.

Ketiga, Nabi saw adalah pemimpin yang dicintai Allah. Ada perbedaan yang signifikan antara sikap Allah terhadap kepemimpinan Nabi saw dengan kepemimpinan nabi-nabi sebelumnya. Perbedaan sikap itu dapat kita temukan dari beberapa ayat Quran. Salah satu contoh: Nabi Musa bermohon kepada Allah menganugerahkan kepadanya kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala persoalannya. “Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku.” (QS. Thaha [20]: 25-26).

Sedangkan Nabi Muhammad saw memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah dalam surah Alam Nasyrah, Bukankah kami telah melapangkan dadamu?” (QS. Alam Nasyrah [94]: 1).

Akhirnya, mencermati keistimewaan Rasulullah sebagai pemimpin, seharusnya kita dapat memetik hikmah dari beliau dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. (daaruttauhiid)