Mengapa HARI SANTRI ditetapkan tanggal 22 Oktober?

BERMULA DARI RESOLUSI JIHAD – Catatan Sejarah Yang Terlupakan atau SENGAJA Di Lupakan?

Saudaraku …

Ketika Indonesia merdeka tanggal 17 agustus 1945, sebulan setelahnya Indonesia langsung mendapat ujian berat, yaitu tentara sekutu yang membonceng tentara Belanda mendarat di Jakarta dan kota-kota besar lainya di Indonesia.

Maka pada waktu itu Bung Karno dan Bung Hatta berjuang untuk melakukan upaya DIPLOMATIK untuk mendorong tentara sekutu agar bekerja profesional, yaitu hanya mengurus tahanan saja dan tidak mengutak ngatik satus kemerdekaan Indonesia. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil.

Bung Karno pun galau saat itu, beliau menganalisa bila sampai terjadi peperangan secara Sistematis, maka Indonesia pasti tidak akan bisa mengalahkan tentara sekutu, karena persenjataan mereka jauh lebih lengkap dan keahlian militernya lebih memadai.

Atas saran dari Panglima Besar Jenderal Sudirman, Bung Karno di minta untuk mengirim utusan Khusus kepada Roisul Akbar Nahdhatul ‘Ulama (Ketua Umum NU) yaitu Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang – Jawa Timur, untuk meminta fatwa kepada Kyai Hasyim tentang bagaimana Hukumnya berjihad membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru saja di proklamirkan.

Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari lantas memanggil KH. Wahab Hasbullah dari Tambak Beras Jombang. Kyai Wahab di minta untuk mengumpulkan para Ketua NU se-Jawa & Madura untuk membahas persoalan ini, bukan hanya itu saja, Mbah Hasyim juga meminta kepada para Kiyai-Kiyai Khash NU, untuk melakukan Shalat Istikharah, salah satunya adalah Kyai Abbas dari Pondok Pesantren Buntet Cirebon – Jawa Barat.

Pada tanggal 22 oktober 1945 seluruh Delegasi NU se-Jawa & Madura telah berkumpul di Kantor Pusat Ansor di Jl. Pungutan surabaya. Kiyai Hasyim langsung memimpin pertemuan tersebut dan kemudian di lanjutkan oleh Kyai Wahab.

Setelah berdiskusi yang cukup panjang dan mendengarkan hasil istikharah para Kiyai Khash NU, maka pada pertemuan yang diadakan pada tanggal 22 oktober 1945 inilah 3 rumusan penting di hasilkan dan disepakati yang kemudian di kenal dengan istilah “RESOLUSI JIHAD NU”.

Isinya :

Pertama :
—————-
SETIAP MUSLIM , TUA, MUDA DAN MISKIN SEKALIPUN WAJIB MEMERANGI ORANG KAFIR YANG MERINTANGI KEMERDEKAAN INDONESIA.

Kedua :
————-
PEJUANG YANG MATI DALAM PERANG KEMERDEKAAN LAYAK DIANGGAP SYUHADA’ (mati syahid).

Ketiga :
————-
WARGA YANG MEMIHAK KEPADA BELANDA DIANGAP MEMECAH BELAH KESATUAN DAN PERSATUAN OLEH KARENA ITU HARUS DI HUKUM MATI.

Dokumen Resolusi Jihad ini di tulis dalam huruf ARAB-JAWA atau di sebut huruf PEGON, yang di tandatangi oleh KH. Hasyim Asy’ari, lalu di sebarluaskan keseluruh jaringan pesantren, tak terkecuali kepada para Komandan LASKAR HIZBULLAH & SABILILLAH di seluruh penjuru Jawa dan Madura. Dokumen Resolusi Jihad juga di muat dalam sejumlah media masa pergerakan pada masa itu.

Kemudian hanya berselang 3 hari pasca Resolusi Jihad di cetuskan, 6.000 tentara sekutu mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan persenjataan yang sangat lengkap.

Mendengar kedatangan pasukan penjajah, maka ribuan Santri, Mujahidin dan & para Kiyai se-Jawa Timur bergerak menuju Surabaya dan situasi pun terus memanas dan hampir tidak terkendali.

Saudaraku, Resolusi Jihad NU ini telah memompa semangat perlawanan rakyat dan memicu terjadinya Pertempuran Hebat selama 3 hari 3 malam di Surabaya, dari mulai tanggal 27 sampai tanggal 29 oktober 1945, sampai akhirnya Tentara Inggris pun kewalahan dalam menghadapi perlawanan rakyat Jawa Timur.

Melihat kondisi seperti ini, maka Inggris ketakutan dan akhirnya mendatangkan Bung Karno ke Surabaya untuk di ajak berunding melakukan gencatan senjata. Pagi hari tanggal 30 Oktober gencatan senjata pun di tandatangani pemerintah Indonesia dan Inggris, namun pada sore harinya terjadi insiden di “Jembatan Merah” yang menewaskan orang no.1 tentara Inggris di surabaya yaitu Jendral Mallabi, sehingga gencatan senjata pun langsung berakhir.

Pengganti Jenderal Mallabi yaitu Jendral Robert Mansion mengultimatum laskar pejuang dan tentara Indonesia agar menyerahkan senjata kepada Inggris paling lambat tanggal 10 november 1945, jika tidak maka Inggris mengancam akan membumi hanguskan Surabaya dan Membombardir Surabaya dari 3 arah sekaligus laut, darat dan udara.

Mendengar ancaman itu, para komandan Laskar Hizbullah, Sabilillah, Mujahidin, TKR dan Para Santri marah besar, sampai akhirnya ada seorang pemuda bernama Soetomo atau yang lebih akrab di panggil Bung Tomo, sowan kepada Kiyai Hasyim, meminta izin untuk menyebarluaskan Resolusi Jihad melalui radio pada pidato Bung Tomo.

KH. Ahmad Muchid Muzadi (Pemuda Anshor 1945 dari Jember Jawa Timur) Mengatakan :

“Hai … Tentara inggris, ayo kita berperang, kita ini tidak takut, kalau mati kita syahid, kalau hidup kita akan menjadi bangsa yang merdeka.”

Pasukan terdepan yang bertempur di Surabaya adalah :

1. Laskar Hizbullah yang di pimpin oleh KH. Zainal Arifin, dari Tapanuli Tengah – Sumatera Utara, Wafat di Jakarta.

2. Laskar Sabilillah yang di pimpin oleh KH. Masykur, dari Pon-Pes Mishbahul Wathon (Pelita Tanah Air) Singosari Malang Jawa Timur.

3. Barisan Mujahidin Indonesia yang di pimpin oleh KH. Wahab Hasbullah Pon-Pes Tambak beras Jombang Jawa Timur.

4. PETA Sebagian besar Batalionnya di pimpin oleh Para Kiyai NU.

5. Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Sangat disayangkan sekali Resolusi Jihad NU ini menjadi bagian dari sejarah yang terlupakan, karena Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 Tidak tercatat dalam Sejarah Resmi Indonesia.

Ada upaya untuk menghilangkan jejak peran “Para Santri dan Kiyai” dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal itu di duga terkait dengan kebijakan Rasionalisasi, Nasionalisasi dan Modernisasi TKR, yang mengakibatkan para “Milisi terdepak” dari TKR. Walau sedikit kecewa pada pemerintah saat itu, tapi para pejuang NU tetap sadar bahwa mereka berjuang bukan untuk pemerintah, tapi perjuangan membela negara dan tanah air hanya karena Allah semata. Mereka tetap setia dengan Resolusi Jihad dan tetap selalu menjaga serta membela NKRI.

Mereka tidak pernah berfikir untuk melawan pada pemerintah yang sah, apalagi memberontak dan mengkudeta. Bahkan mereka berperang lagi menghadapi Agresi Militer Belanda tahun 1947-1948.

Semoga para Ulama, Santri, Mujahidin yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan membela NKRI menjadi Syuhada, Aamiin.

Wallahu ta’ala A’lam