Menjadi Pribadi Menyenangkan Itu Tidak Sulit

Suatu hari, ada seorang nenek yang bertanya kepada Rasululllah saw, “Ya Rasulullah, apakah aku bisa masuk surga?” Mendengar pertanyaan tersebut Rasulullah menjawab, “Di surga tidak ada orang tua.”

Betapa sedihnya nenek itu mendengar jawaban kekasih Allah tersebut. Namun, Rasulullah segera bersabda, “Di surga yang tinggal hanya mereka yang muda. Orang yang sudah tua di dunia akan kembali muda saat berada di surga.” Mendengar ucapan Rasulullah, nenek tersebut tersenyum gembira. Selain sebagai bentuk canda yang bisa membuat hati nenek itu gembira, ucapan Rasulullah juga mengandung kebenaran.

Saudaraku, Rasulullah saw adalah orang yang paling menyenangkan. Baik menyenangkan jika dilihat secara fisik, maupun menyenangkan karena perangainya yang indah nan mulia. Perannya sebagai seorang utusan Allah SWT tidak lantas membuat perangainya senantiasa serius atau kaku. Yang tampak dari sosok Rasulullah, justru sosok manusia yang wajar, senantiasa tepat menempatkan dirinya, tidak jaim, dan sikapnya tidak dibuat-buat.

Rasululullah senantiasa bersikap apa adanya, sederhana, tulus dan terbingkai indah dalam hatinya yang bersih dan akhlaknya mulia. Sehingga siapa pun yang berada di dekatnya akan merasa hormat sekaligus senang.

Pernah suatu ketika, Rasulullah meminta Abdullah, Ubaidillah, dan yang lainnya dari anak-anak Abbas, paman beliau. Kemudian, Rasulullah meminta mereka berbaris seraya berkata, “Siapa yang lebih dahulu sampai kepadaku, maka aku akan memberinya hadiah!” Seketika itu juga anak-anak itu berhamburan berlari menuju Rasulullah, dan berebut duduk di pangkuan beliau. Lalu, Rasulullah memeluk mereka dan menciuminya.

Saudaraku, menjadi pribadi menyenangkan adalah keteladanan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Maka, pribadi yang menyenangkan adalah bagian dari ciri orang beriman.

Jika kita mengevaluasi diri, boleh jadi dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak perangai kita yang membuat orang lain tidak senang, atau membuat orang lain tersinggung. Misalnya saat kita berbicara dengan seseorang, kita menunjuk-nunjuk lawan bicara dengan jari telunjuk. Ini akan membuatnya tidak nyaman dan tidak senang. Berbicara dengan orang lain sambil telunjuk kita menunjuk ke wajahnya, itu sama saja dengan merendahkannya. Apa buktinya? Buktinya kita tidak akan melakukan hal seperti itu kepada orangtua kita, kepada guru kita, atau kepada siapa saja yang kita hormati, bukan?!

Menunjuk-nunjuk wajah orang lain saat berbicara itu termasuk akhlak tidak baik. Makanya, perbuatan seperti ini biasanya dilakukan oleh seseorang di saat ia sedang melampiaskan amarahnya, misalnya seorang atasan yang sedang marah pada bawahannya.

Perbuatan seperti ini juga bisa memicu pertengkaran. Misalnya dua orang teman yang sedang berbincang namun saling berbeda pendapat. Jika salah seorang dari mereka berbicara sambil menunjuk-nunjuk wajah lawan bicaranya, apalagi dengan nada suara yang tinggi, maka bisa dipastikan lawan bicaranya akan tersinggung dan tidak terima. Jika sudah demikian, bukan akal lagi yang bertindak melainkan hawa nafsu.

Namun, kita perlu menyadari bahwa kita berusaha menyenangkan orang lain bukan demi penilaian mereka, bukan demi menarik rasa suka dari manusia, melainkan karena demi penilaian Allah semata, supaya Allah senang kepada kita. Jadi, hanya itu saja yang kita tuju, keridaan-Nya. (KH Abdullah Gymnastiar)