Menjaring Ilmu Sepanjang Hayat

Ilmu ibarat lentera. Eksistensinya, bukan saja memancarkan keindahan dan menerangi kegelapan. Tetapi bisa menjadi sumber penerang abadi. Keabadian ilmu dapat kita rasakan dari aplikasi ilmu dan penyebarannya.

Penyebaran ilmu tidak mungkin terlepas dari apa yang disebut dengan istilah menuntut ilmu. Karenanya, menuntut ilmu merupakan urat nadi dari keabadian ilmu. Berkaitan dengan keabadian ilmu, Rasulullah saw. pernah bersabda, dari Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim…” (HR. Ibnu Majah)

Sedangkan dalam hadis lain diriwayatkan Ad-Dailami dan Anas ra, “Orang yang menuntut ilmu berarti menuntut rahmat, orang yang menunut ilmu berrati menjalankan rukun Islam dan pahala yang diberikan kepadanya sama dengan pahala para Nabi.”

Dengan merujuk pada hadis di atas, kita memahami bahwa menuntut ilmu merupakan fardhu ain. Itulah sebabnya, tak ada alasan karena faktor usia, kesibukan, tidak mempunyai kesempatan, dsb. seseorang tidak melakukan interaksi dalam menuntut ilmu. Terlebih ilmu agama.

Meminjam ungkapan M.Thalib (2001), seorang yang mengaku muslim tetapi tidak tahu dan tidak mau mempelajari apa yang menjadi tanggung jawab dirinya kepada Allah dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari di dunia ini, berarti telah melanggar kewajiban yang disebutkan dalam hadis di atas.

Oleh karena itu, setiap muslim wajib mempelajari hal yang pokok bagi kehidupan agamanya walaupun dia telah mempelajari pengetahuan duniawi yang dibutuhkan dalam kepentingan hidup di dunia. Ringkasnya, belajar ilmu agama menjadi kewajiban setiap orang Islam hal ini wajib dipelajari sepanjang hayatnya untuk dapat menjalankan kewajiban agamanya sesuai dengan ketentuan yang digariskan Allah dalam Alquran dan diajarkan oleh rasulullah saw.

Mengejar Keabadian
Mempelajari ilmu berarti mengejar keabadian. Kondisi ini sejalan dengan apa yang pernah terekam dari sabda Rasulullah,”Barang siapa pergi untuk mencari ilmu yang dipelajarinya karena Allah, maka Allah akan membukakannya pintu surga kepadanya dan malaikat mengembangkan sayap-sayapnya serta malaikat langit meminta rahmat untuknya juga ikan-ikan di laut.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah)

Ada garansi yang ditawarkan Rasulullah kepada kita, jika kita mencari ilmu dengan landasan karena mencari keridhaan Allah. Garansi itu adalah surga. Sebuah tempat idaman dan abadi sepanjang masa. Jaminan ini bukan sekedar memotivasi, sebab bila kita mempelajari ilmu dengan niat mencari keridhaan Allah, maka kita akan terhindar dari kebodohan dan kesesatan.

Salah satu hadis yang diriwayatkan Baihaqi berkaitan dengan persoalan kebodohan dan kesesatan, berbunyi “Janganlah kamu menjadi orang yang kelima, kamu pasti menjadi orang yang celaka.” Lengkapnya, hadis tersebut, ”Jadilah kamu seorang pengajar, atau pelajar, atau mendengarkan (ilmu) atau mencintai (ilmu) dan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, kamu pasti menjadi orang yang celaka.” Maksud dari ‘orang yang kelima’ adalah janganlah menjadi orang yang bodoh, yang akan celaka di dunia dan akherat kelak.

Pengajar Sepanjang Masa
Merujuk hadis di atas, ada empat poin yang ditawarkan Rasulullah berkait dengan masalah menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu. Pertama, menjadi pengajar. Kedua, menjadi pelajar. Ketiga, menjadi pendengar ilmu. Keempat, menjadi pecinta ilmu. Keempat poin itu merupakan mata rantai agar kita terhindar dari kebodohan.

Salah satu upaya dalam memotong mata rantai kebodohan adalah belajar pada seorang guru. Guru merupakan sosok pemilik ilmu. Oleh karena itu, Rasulullah mengajarkan kepada kita agar selalu hormat kepada guru, “Dari Ibnu Abbas, ia berkata,”Ada orang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah teman-teman berkumpul kami yang terbaik?” Beliau bersabda,”Orang yang dapat mengingatkan kamu kepada Allah saat kamu melihatnya, pembicaraannya menambah ilmu kamu, dan perbuatannya mengingatkan kamu kepada hari akherat.” (HR. Abu Ya’la)

Dengan demikian, guru yang baik adalah guru yang mengajarkan pengetahuan dan selalu mengingatkan kita kepada Allah SWT.

Pelajar Sepanjang Masa
Menilik wajibnya menuntut ilmu, baik ilmu yang berkenaan dengan syaria’at Allah seperti halal-haram, wajib sunah, salat, zakat dsb (merupakan fardu ain), maupun ilmu yang bersifat kemaslahatan umat seperti ilmu kedokteran, bahasa, psikologi dsb (merupakan fardhu kifayah). Maka, tak ada pilihan pada hakikatnya kita akan menjadi pelajar sepanjang masa.

Contoh pelajar sepanjang masa adalah sahabat Rasulullah yang usianya sudah lanjut, yaitu Qabishah bin Mukhariq ra. Beliau pernah berdialog dengan Rasulullah. “Wahai Qabishah kenapa kamu datang?” tanya Rasulullah. Qabishah menjawab, “Umur saya sudah tua, badan saya sudah lemah, maka saya datang kepada Tuan supaya Tuan mengajarkan kepadaku apa yang Allah jadikan bermanfaat untuk diriku.” Lalu Nabi Saw. bersabda,”Wahai Qabishah, setiap langkah kamu melewati batu atau pohon atau kampung semuanya memintakan ampun untuk kamu.”

Ilmu ibarat lentera. Itulah sebabnya, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang ingin sukses dalam kehidupan dunianya, hendaklah dicapai dengan ilmu, barang siapa yang ingin selamat di akherat nanti hendaklah dengan ilmu dan barang siapa yang ingin sukses dalam menghadapi kedua-duanya maka hendaklah pula dicapai dengan ilmu.” Ringkasnya, menuntut dan mengamalkan ilmu, bukan saja memancarkan keindahan, tetapi juga bisa menerangi kegelapan. (Encon Rahman)