Muara Semua Cinta

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa cinta kepada Allah Ta’ala adalah tujuan utama dan tertinggi dari seluruh derajat atau level spiritualitas. Setelah derajat kecintaan ini, tidak ada lagi derajat yang lain kecuali buah dari kecintaan itu sendiri. Aktivitas-aktivitas spiritual seperti sabar, tobat, zuhud, dan lain-lain akan bermuara pada mahabbatullah atau cinta kepada Allah.

Seorang beriman yang mencintai Allah Ta’ala dengan sungguh-sungguh pastilah mencintai apa yang dicintai-Nya pula, sehingga ia akan senang menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya tanpa merasa terpaksa. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ﴿آل عمران : ۳۱

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 31).
Nabi Muhammad sendiri pernah berdoa dengan lantunan yang amat indah. “Ya Allah karuniakan kepadaku kecintaan kepada-Mu, kecintaan kepada orang yang mencintai-Mu dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku kepada kecintaan-Mu. Jadikanlah Dzat-Mu lebih aku cintai daripada air yang dingin bagi orang yang dahaga.” (HR. Abu Nuaim).

Imam al-Ghazali juga menerangkan bahwa kata mahabbah atau kecintaan berasal dari kata hubb yang mempunyai asal kata habb yang berarti biji atau inti. Sebagian ahli tasawuf menjelaskan bahwa hubb adalah awal sekaligus akhir dari perjalanan keberagamaan.

Mungkin kita banyak mengalami perbedaan dalam menjalankan syariat disebabkan mazhab atau ijtihad. Namun rasa cinta kepada Allah Ta’ala adalah kekuatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut. Kecintaan kepada Allah Ta’ala tidak hanya kita wujudkan dalam ibadah-ibadah mahdhah semata, melainkan juga mencakup ibadah-ibadah yang bentuknya interaksi dengan sesama manusia. Itu juga dengan ibadah yang berhubungan dengan interaksi kita terhadap alam semesta.

Ada satu kisah saat Husein cucu Rasulullah masih kecil. Ia pernah bertanya kepada ayahnya yakni Ali Bin Abi Thalib. “Apakah engkau mencintai Allah?” Sayyidina Ali menjawab, “Ya.” Husein bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai kakek dari ibu (Rasulullah)?” Sayyidina Ali menjawab, “Ya.” Husein bertanya lagi, “Apakah engkau mencintai ibuku (Fatimah az-Zahra)?” Sayyidina Ali pun menjawab, “Iya.” Husain kecil kembali bertanya,”Apakah kamu mencintaiku?” Sayyidina Ali menjawab, “Ya.”

Husein kecil yang masih polos itu mengajukan pertanyaan terakhir, “Ayahku bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?” Kemudian Sayyidina Ali menjelaskan, “Anakku pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kakek dari ibumu, ibumu, dan cinta kepada engkau adalah karena cintaku kepada Allah! Karena sesungguhnya semua cinta itu merupakan cabang-cabang dari cinta yang utama, yakni cinta kepada Allah Ta’ala semata.” Setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu, Husein menjadi tersenyum tanda mengerti.

Begitulah hakikat cinta, yang mana sudah seharusnya kita muarakan semua cinta terhadap Allah Ta’ala. Semoga kita senantiasa diberikan kelekatan hati untuk terus merindu dan berdekatan dengan-Nya. Semoga tidak ada yang memenuhi rongga hati kita selain kecintaan kepada Allah Ta’ala saja. (KH. Abdullah Gymnastiar)