Muslimah Itu ‘Batu Permata’

Muslimah ibarat batu permata, penuh dengan harga diri. Permata ditempatkan di tempat yang khusus dan dilindungi berbagai alat pengaman. Tidak semua orang boleh melihat dan merabanya secara langsung. Dan, permata hanya dapat ditemukan ditempat tertentu yang agung. Begitulah pendangan Islam terhadap wanita.

Wanita Islam (muslimah) senantiasa dijaga dengan memberikan pakaian yang sempurna, mewah, tidak kurang sesuatu pun. Mereka memiliki ciri khas tersendiri. Gaya bicaranya penuh dengan kharisma, tatapan matanya menyejukkan, perangainya menyinari bak zamrud, dan kelemah-lembutannya menjadi karakteristik tersendiri. Itu semua tak lepas dari rahmat Allah SWT. Sebagaimana Firman-Nya, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. 3:159)

Lain halnya dengan Barat. Memandang wanita sebagai makhluk yang “tidak sempurna”, tiada yang istimewa, yang siapa pun boleh menginjaknya (seperti sampah). Maka tak ayal munculnya pemberontakan oleh kaum wanita yang ingin membebaskan diri. Ironisnya, kini wanita Islam meniru budaya mereka. Mereka tanggalkan baju keislaman demi sebuah kebebasan. Kebebasan yang bisa menjadikan seseorang tidak terbebani oleh aturan (syariat Islam) termasuk aturan dalam-mengambil alih profesi atau pekerjaan.

Penyebab menurunnya dekadensi moral dikarenakan berubahnya pola pikir wanita masa kini mereka berpikir bahwa dirinya tak beda dengan laki-laki. Mereka menuntut adanya persamaan hak dalam segala hal (emansipasi). Sementara fitrahnya sebagai wanita terlupakan. Konsep wanita karir merupakan pengejawantahan dari emansipasi yang notabene berasal dari Barat yang ingin menghancurkan Islam. Sehingga banyak muslimah yang tertarik dengan pekerjaan di luar yang glamour.

Jika menilik ke Islam, muslimah mendapatkan posisi yang mulia. Banyak riwayat yang memberikan nilai lebih (berharga) bagi wanita. Seperti syurga berada di bawah telapak kaki ibu; ibu seharga tiga kali ayah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis Bukhari Muslim ketika seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasululloh siapa orang yang harus saya muliakan pertama kali?” Rosul menjawab, “Ibumu”. Kemudian sahabat bertanya lagi. “Kemudian siapa?”. Rosul kembali menjawab “Ibumu” untuk yang ketigakalinya sahabat bertanya “Kemudian siapa?” Rasululloh kembali menjawab “Ibumu”. Sahabat kembali bertanya. “Lalu siapa lagi? Rosul menjawab “Ayahmu”. Posisi muslimah tidak cukup dengan hal tersebut. Pada zaman Rasululloh, gugatan yang dilakukan muslimah sangat dihormati.

Sepanjang mengangkut mayoritas muslimah, tidak ada keraguan bahwa peran muslimah dalam keluarga begitu penting dan berharga. Untuk mengurus keluarga perlu ilmu malah ilmu yang harus dimiliki lebih dari ilmu karir di luar rumah. Adalah menyesatkan jika beranggapan bahwa pekerjaan rumah tangga menyangkut masak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Pekerjaan ini menyangkut merawat manusia, tua, dan muda yang membutuhkan kebijaksanaan, kecerdasan, kreativitas, keterampilan, dan pengalaman.

Meskipun mengatur rumah tangga, melahirkan, dan mengasuh anak adalah pekerjaan yang universal, namun sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan tersebut tidaklah menyita seluruh energi. Bahkan dengan keberadaannya di dalam rumah muslimah akan aman dan terlindungi dari kejahatan yang merajalela.

Muslimah yang tidak berperan sebagai ibu atau melalaikan kewajiban fitrahnya sebagai orangtua yang harus mengurus keluarga (anak, suami) kelak dia akan menyesal karena telah menyia-nyiakan waktunya sebagai ibu atau muslimah. Sebagaimana yang diakui Marlyn Monroe- wanita tenar yang menyesali diri.

“Berhati-hatilah dari gemerlapnya ketenaran menipu kalian, sesungguhnya aku adalah wanita yang paling celaka di dunia. Aku tak mampu menjadi seorang ibu. Sesungguhnya aku mencintai rumah dan kehidupan keluarga. Di sanalah tempat wanita yang sebenarnya.”

Sepertihal nya Islam memberikan anjuran akan kewajiban muslimah yang harus bertanggung jawab terhadap anak dan suaminya. Sebagaimana yang disabdakan Rasululloh SAW, “Dan laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Dan wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhori)

Selain itu, muslimah bukan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga tetapi harus mulai terlibat akan posisinya sebagai hamba Allah SWT. Seorang muslimah dituntut untuk melaksanakan tugas kepada Allah SWT dan memberi manfaat kepada ummat (dengan dakwah), sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Tugas ini bertambah wajib dengan menurunnya dekadensi moral ummat. Sehingga keberadaan muslimah dituntut untuk membebaskan saudaranya dari pemikiran yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam (pemikiran Yahudi, Nasrani), dengan lemah lembut berusaha mengajak mereka kembali kepada pemahaman Islam yang benar.

Harga diri muslimah adalah ketika berpegang pada nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, kewajiban muslimah tidak akan mengurangi harga diri. Bahkan, harga yang ditawarkan akan senantiasa menjadi batu permata yang terlindungi, aman, namun dibalik kesembunyiannya itu akan menerangi hati yang gulana dan bisa mengembalikan izzah. (kehormatan) Islam. Wallohu’alam bishowab. (Afifah Syahidah)