Nabi Nuh, Rasul Ulul Azmi Pertama

“Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: ‘Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.’” (QS. Yunus [10]: 71).

Berbekal kegigihan dan daya pikat keterampilannya, Nabi Idris berhasil menyatukan umat manusia dalam satu tatanan masyarakat yang bertauhidullah, yaitu masyarakat yang hidup untuk menjalankan satu program penyembahan kepada Allah SWT saja. Sepeninggalnya, kepemimpinan umat manusia diestafetkan kepada aktor selanjutnya yaitu Nabi Nuh as.

Menurut riwayat yang bersanad dari Ibnu Abbas ra, jarak antara Nabi Nuh dengan Nabi Adam adalah 1.000 tahun. Allah SWT mengaruniakan usia yang panjang kepadanya, yaitu 950 tahun. Sepanjang masa itulah Nabi Nuh berjuang keras menyerukan dan menanamkan keimanan kepada seluruh umatnya. Memang hebat kualitas diri seorang mukmin yang Allah SWT dan Rasul-Nya beritakan.

Nabi Muhammad saw bersabda, “Sangat ajaib keadaan seorang mukmin, sesungguhnya segala urusannya adalah baik, dan itu tidak terjadi kepada seseorang kecuali hanya bagi mukmin. Jika dia mendapat kesenangan dia bersyukur, maka demikian itu kebaikan buatnya. Dan jika dia mendapat kesusahan, dia bersabar, maka demikian itu adalah kebaikan buatnya.” (HR. Muslim dari Abu Yahya Suhaib bin Sinan ra).

Begitu pula kualitas mukmin periode awal kenabian Nabi Nuh. Mereka mensyukuri dengan sikap syukur terbaiknya atas semua limpahan rezeki yang telah Allah berikan sekecil apa pun, dan bersabar atas kesempitan yang menghimpitnya dengan harapan menjadi media peningkatan kualitas dirinya. Maka tidak heran tatkala dibacakan ayat-ayat Allah, mereka menyungkurkan kepala tanda takluk dengan bersujud kepada Allah SWT disertai tangisan jiwa yang mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Subhanallah.

Allah tidak memberikan suhuf kepada Nabi Nuh as. Kalamullah yang Nabi Nuh ajarkan adalah suhuf-suhuf yang Allah SWT wahyukan kepada ketiga Nabi sebelumnya (yaitu Nabi Adam, Nabi Syits, dan Nabi Idris) yang berjumlah 90 suhuf. Bermodal 90 suhuf inilah Nabi Nuh membangun masyarakat tauhid kepada umatnya (bernama Bani Rasid menurut salah satu riwayat) di daerah Mesopotamia, tepatnya di wilayah bagian selatan Irak sekarang.

Lima bidang ilmu yang dulu diajarkan Nabi Idris yaitu matematika, tulis-menulis, jahit-menjahit, berkuda, dan astronomi berkembang pesat. Berpikir ilmiah menjadi karakter Bani Rasid. Namun sayang, kelebihan ini mereka tempatkan tidak dalam kedudukan yang semestinya. Mereka memakainya bukan untuk memahami wahyu yang diturunkan kepada mereka melainkan mengkritisinya. Wahyu pun mereka pertanyakan. Benarkah? Mengapa begitu? Bagaimana seterusnya? Dan berbagai pertanyaan sangsi lainnya.

Pola pandang wahyu telah bergeser dengan pola pandang ilmiah. Mereka tidak mau mengedepankan bahkan menjalankan wahyu seandainya tidak atau belum dimengerti logikanya. Padahal banyak pesan wahyu yang isinya menguji keimanan dengan mengedepankan hal-hal yang tidak dimengerti logika dengan cara berpikir biasa. Benih-benih keingkaran pun tumbuh subur di dalamnya.

Setiap undangan yang bersumber dari Nabi Nuh mereka abaikan. Seandainya mereka berpapasan dengannya, tampak nada kesal dan jengkel karena menyesali dan tidak bisa menghindar dari Nabi Nuh. Mereka menyengaja menutupi telinga dengan jari saat Nabi Nuh menyapa karena tidak mau mendengar dan berbicara dengannya.

Ayat demi ayat mereka dustakan. Mereka memprovokasi seolah wahyu yang disampaikan adalah perkataan yang dibuat-buat oleh Nabi Nuh. Terjadilah sikap pendustaan dan pengingkaran secara kolektif dan massif. Nabi Nuh beserta sahabat mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Puncaknya, mereka mengancam akan memberikan hukuman mati dengan merajam Nabi Nuh di muka umum seandainya beliau tidak berhenti mendakwahkan risalah. Na’udzubillahi min dzalik. Inilah penzaliman dan perbuatan durhaka besar pertama yang dilakukan oleh sekelompok umat terhadap Nabi dan Rasul-Nya.

Namun, Nabi Nuh terus bersabar. Bahkan beliau semakin meningkatkan ikhtiarnya. Beliau tetap telaten membaca dan mengajarkan wahyu walaupun ancaman demi ancaman tetap ia dapatkan. Kesabaran tanpa batas inilah yang menyebabkan Nabi Nuh mendapat gelar Rasul Ulul Azmi pertama, yang berarti rasul yang memiliki tekad kuat. Ya, sebuah gelar indah yang ia dapatkan di tengah kondisi umat yang tidak berhenti menzalimi dan mendurhakainya. Wallahu a’lam. (diambil dari buku 101 Kisah Nabi & Rasul, karangan Ust. Edu)