Perdagangan Berhala

(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?’ Mereka menjawab: ‘Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.’” (QS. al-Anbiya [21]: 52-53). 

Ibrahim remaja tumbuh menjadi remaja yang luar biasa. Akalnya senantiasa “haus” mencari jawaban atas berbagai pertanyaan mendasar, yaitu pertanyaan tentang hakikat hidup dan kehidupan di dunia ini. Begitu pun dengan fenomena masyarakat yang menyembah tujuh bintang. Mereka tidak bisa mempertahankan argumennya manakala berhadapan dengan pertanyaan- pertanyaan Ibrahim remaja.

Ayah Nabi Ibrahim as (yang bernama Azar) sangat terampil dalam seni membentuk (memahat). Ia mampu membentuk sebuah benda dengan profil yang sangat detail. Ditambah dengan bahan baku yang bagus, maka lengkaplah produk berhala yang dibuat Azar menjadi barang dagangan yang sarat kualitas.

Dalam dunia perdagangan, daya pikat barang baru 50% dari keberhasilan. Sisanya adalah kemampuan marketing dari sales atau penjual. Azar berharap keberhasilan itu bisa dipenuhi oleh pewarisnya, Ibrahim remaja. Apalagi profil Ibrahim remaja menunjukkan talenta dalam bidang itu. Azar pun meminta Ibrahim remaja untuk menjual berhala dagangannya.

Ibrahim remaja tidak berdaya menolak kehendak ayahnya. Apalagi terikat dengan kewajiban seorang anak untuk berbuat baik kepada orangtuanya. Ia pun mulai berkeliling menawarkan barang dagangannya.

Namun, selama dalam perjalanan akal Ibrahim remaja tidak habis pikir mempertanyakan, “Apakah gerangan yang membuat orang membeli berhala?” Rasa penasaran ini ia coba temukan langsung di lapangan melalui dialog dengan orang-orang yang menunjukkan ketertarikan untuk membeli barang dagangannya. Dalam dialognya Ibrahim remaja senantiasa bertanya, “Mengapa engkau menyembah berhala, apakah ia bisa mendengar permintaanmu?”

Semua lawan bicara umumnya menjawab “tidak”. Mereka lantas menguatkan jawabannya dengan memberikan argumentasi bahwa penyembahan terhadap berhala ini adalah kepercayaan yang sakral. Ya, sebuah kepercayaan yang mereka terima secara turun temurun dari nenek moyang yang harus mereka jaga dan pelihara. Terlebih, kepercayaan ini telah ditetapkan dan diatur demikian oleh raja sehingga masyarakat wajib menaatinya.

Rasa penasarannya sudah terjawab. Ibrahim remaja menemukan hal krusial yang menjadi inti permasalahan. Beliau pun mengerti apa yang selanjutnya harus dia lakukan. Maka disusunlah dua program penting, yaitu: 1) Program pengondisian produsen berhala (termasuk ayahnya) untuk berhenti membuat dan menjual berhala, 2) Menemui penguasa agar mau mencabut payung hukum (aturan) yang berisi legalitas penyembahan berhala.

Semua yang terjadi kepada Ibrahim remaja bukanlah kebetulan. Kemampuan Ibrahim remaja dengan daya nalar yang tinggi dan kritis di usia belia merupakan anugerah luar biasa yang Allah berikan kepadanya. Tentunya semua itu Allah SWT berikan karena Ia berkehendak menjadikannya sebagai salah satu utusan-Nya.

Allah pun mengangkat Ibrahim remaja menjadi salah satu nabi dan memberikan kepadanya 10 suhuf melengkapi 90 suhuf yang telah Allah berikan kepada tiga nabi sebelumnya. Berbekal 100 suhuf inilah Nabi Ibrahim mengembalikan keyakinan masyarakat dunia kepada keyakinan sejatinya, menyembah Allah Azza wa Jalla.

Perjuangan Nabi Ibrahim pun dimulai. Beliau harus cermat menyampaikan ayat-ayat Allah SWT di hadapan produsen berhala dan penguasa, agar masyarakat tidak terus menjadi objek program-program duniawi mereka. Sebab, lemahnya daya nalar masyarakat tidak terjadi begitu saja (kebetulan), melainkan ada upaya sedemikian rupa yang di-setting dalam pola desain yang sangat kompleks dan sistematis.

Tentunya desain yang kompleks dan sistematis ini tidak akan berlaku tanpa adanya “payung hukum” yang ditetapkan oleh penguasa. Keberhasilan program Nabi Ibrahim bergantung pada sejauh mana kemampuannya mengondisikan penguasa. Dengan demikian, butuh taktik dan strategi yang tepat dan matang untuk menghadapinya, sehingga semua yang direncanakan bisa berjalan dengan sempurna. Wallahu a’lam. (diambil dari buku 101 Kisah Nabi, karangan Ust. Edu)