Qabil dan Keturunannya

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui,” (QS. an-Nur/24: 21)

Menyadari akan kemurkaan ayahnya atas tindakannya membunuh Habil ra, Qabil menurut salah satu riwayat segera membawa lari Iqlima ra menuju tempat yang jauh. Sebagai adik, ia mengikuti saja karena pada saat itu Nabi Adam dan Siti Hawa sedang pergi menunaikan syariat ibadah haji, sementara kepemimpinan saat itu diamanahkan kepada Qabil sebagai kakak paling dewasa. Berdasarkan kitab Mar’at al-Mafatih, Nabi Adam as berangkat dari Hindia berjalan ke arah barat melalui Syam selama empat puluh tahun, dan sampai di Mekkah lalu melaksanakan ibadah haji sesuai bimbingan malaikat.

Qabil mencari tempat yang kondusif untuk menetap. Ia mencari sebuah lembah yang cukup subur sebagai tempat tinggal dan menyambung hidup sesuai keahliannya yaitu bercocok-tanam. Sebuah tempat akhirnya dipilih. Di tempat inilah Qabil membina keluarga sehingga memiliki keturunan yang sangat banyak.

Sebagai kepala keluarga, Qabil mengajarkan berbagai macam kebaikan kepada keturunannya. Tentunya bukan kebaikan yang berdasarkan wahyu Allah SWT (berupa 10 mushaf yang dibawa dan diajarkan Nabi Adam), melainkan menggunakan prasangka nalar dan logika yang menurutnya sesuai.

Walaupun Qabil telah berbuat salah, tapi hati kecilnya berharap seluruh keturunannya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik agar mampu membangun peradaban dengan sempurna. Segala daya upaya pun ia kerahkan. Mewujudlah masyarakat Qabil yang beradab sebagaimana prasangka mereka. Di tengah masyarakat inilah, Iblis laknatullah memilih dan menjadikan mereka sebagai “sasaran empuk” dan “lahan subur” untuk melancarkan tipu-dayanya.

Maka Iblis laknatullah pun melakukan penjajakan. Ia memilih waktu dan momen yang tepat untuk memulai sebuah pendekatan. Saat momen yang ditunggunya tiba, Iblis segera menyerupai manusia dan membangun komunikasi yang berisi tawaran hidup yang penuh kenikmatan dan kepuasan, sebagaimana halnya bujukan yang pernah ia lakukan kepada Siti Hawa sehingga terjadilah “Tragedi Buah Khuldi” yang menyebabkan mereka memakan buah terlarang.

Tanpa memerlukan usaha keras, masyarakat Qabil dengan serta merta menerima dan menyambutnya. Iblis laknatullah pun lalu memperkenalkan dan memperdengarkan beberapa alat yang dijadikan senjata penipu-daya. Alat ini berupa benda-benda yang bila ditiup atau ditabuh akan mengeluarkan suara yang enak didengar.

Awalnya mereka kaku. Namun seiring irama syahdu yang keluar dari setiap tiupan dan tabuhan, tanpa sadar tubuh mereka mulai relaks mengikuti irama. Semakin lama gerakan dan liukan tubuh mereka semakin lentur terasa. Bahkan mereka mulai menciptakan ekspresi-ekspresi unik melengkapi kesyahduan suara dan kesempurnaan. Ada yang memperagakan, ada pula yang memberikan komentar. Maka, terciptalah beberapa tarian yang terus menerus mereka peragakan dengan khusyu. Rasa penat dan lelah setelah bekerja seharian menjadi berkurang, bahkan hilang seiring kegembiraan yang mereka dapatkan dari aktifitas itu.

Keturunan Qabil semakin banyak yang ketagihan.Tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Mereka membuat kesepakatan memilih salah satu hari dalam seminggu untuk dijadikan hari perayaan, bersuka-cita dan bergembira. Pada hari itu, para lelaki masyarakat Qabil membawa hadiah yang akan diberikan kepada para perempuannya. Sedangkan para perempuan berdandan (tabaruj) secantik mungkin agar bisa menjadi pusat perhatian dan pilihan para lelaki mereka.

Seiring waktu berjalan, masyarakat Qabil semakin melewati batas. Mereka terjerembab kepada budaya dan gaya hidup tanpa hijab dan aurat. Maka, terjadilah perlakuan-perlakuan layaknya binatang. Tidak ada budaya malu. Yang ada adalah perasaan bangga tatkala mampu melakukan hal yang tidak biasa. Jiwa mereka terpenjara dalam buaian hasrat untuk mendapatkan kepuasan belaka. Masya Allah.

Seperti inilah gambaran masyarakat Qabil. Mereka terperangkap dalam tipu-daya Iblis laknatullah. Padahal, Qabil sebagai sang pemimpin telah berusaha keras menanamkan berbagai kebaikan-kebaikan menurut logikanya. Namun ternyata, kebaikan versi logika tidak memiliki daya guna apa pun. Bukannya mendapatkan peradaban yang sempurna, malah mengundang malapetaka yang membuat masyarakatnya celaka. Dan yang didapat bukanlah keselamatan dan kebahagiaan, melainkan kecelakaan yang berujung penyesalan. Wallahu a’lam. (Ust. Edu)