Recovery Pascabencana, Kepedulian Terus Berlanjut

Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (QS. al-Insyirah [94]: 7).

Secara tersurat maupun tersirat, ayat Quran tersebut dengan gamblang memberitahukan pentingnya fokus pada suatu pekerjaan. Setelah pekerjaan itu selesai, beralih menyelesaikan pekerjaan berikutnya. Bertahap, sistematis dan terencana di setiap waktu.

Kiranya, analogi itu tepat untuk menggambarkan bagaimana penanganan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Mulai dari bencana yang murni karena kejadian alam, sesuatu yang tidak direncanakan dan diinginkan, sehingga tidak bisa cegah oleh siapa pun, hingga ke bencana yang muasalnya karena ulah manusia. Penanganan dari fase tanggap darurat (emergency) hingga fase pemulihan (recovery) pascabencana.

Seperti lazim diketahui, kepedulian dari berbagai pihak (masyarakat, pemerintah maupun swasta) seringkali hanya berujung di fase emergency. Padahal, korban bencana terus bertahan di tempat pengungsian, berbulan-bulan bahkan berbilang tahun setelah bencana. Karenanya, program recovery pascabencana menjadi mutlak dilakukan sebagai bagian integral dari Total Disaster Management (TDM).

Recovery (Pemulihan) Pascabencana

Drs. Dumairy, MA, Pengajar FE-UGM Yogyakarta, dalam sebuah artikelnya tentang penanganan bencana menuliskan bahwa pemulihan (recovery) kehidupan sesudah bencana terdiri atas tiga tahapan yang saling terkait. Ketiga tahap dimaksud bersifat berjenjang berdasarkan skala prioritas, selaras dengan keadaan umum yang senantiasa tercipta akibat bencana.

Pertama, tahap tanggap darurat atau penyelamatan (salvation/emergency); kedua, tahap perbaikan (rehabilitation); dan ketiga, tahap pembangunan kembali (reconstruction). Tahap penyelamatan atau masa tanggap darurat berlangsung segera setelah reda dari kejadian, selama sekitar satu atau dua pekan. Pada tahap ini, hal mendesak yang harus dikerjakan adalah mengungsikan masyarakat ke tempat aman, mengobati dan menyembuhkan mereka yang sakit, menguburkan korban yang meninggal dunia, menyediakan kebutuhan hidup harian bagi para korban yang selamat (di pengungsian, tempatnya semula, rumah sakit), berupa pangan, sandang, tempat berteduh darurat termasuk keperluan sanitasi dan kedapuran.

Adapun tahap perbaikan,Dumairy melanjutkan, dimulai sesudah masa tanggap darurat dipandang selesai. Dalam tahap ini, pekerjaan-pekerjaan yang perlu dilakukan meliputi pembersihan lokasi kejadian dari puing-puing reruntuhan, normalisasi kehidupan sosial masyarakat, perawatan traumatika, perbaikan seperlunya sarana dan prasarana publik, serta pemulihan kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan. Durasi tahap perbaikan bergantung pada kadar keparahan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana. Di tengah berlangsungnya tahap perbaikan atau rehabilitasi, dimulailah tahap pembangunan ulang atau rekonstruksi. Pekerjaan dalam tahap rekonstruksi adalah pembangunan permanen fasilitas fisik, terutama yang berupa (pra)sarana publik. Seperti halnya tahap perbaikan, durasi tahap rekonstruksi juga dipengaruhi oleh kadar keparahan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa recovery pascabencana tidak semata-mata tertuju pada pembangunan fisik/bangunan. Aspek sosial dan psikis dari para korban bencana, termasuk aspek yang juga harus mendapatkan perhatian. Sebagaimana pula ketika fase tanggap darurat berakhir, fase pemulihan selanjutnya (tahap perbaikan dan rekonstruksi) pun hendaknya memperoleh kadar kepedulian yang sama.

Karenanya, mengacu pada banyaknya bencana alam yang pernah, sedang, atau mungkin terjadi di Indonesia, maka kepedulian dan komitmen dalam membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah tidak harus terhenti hanya pada minggu-minggu awal bencana. Tapi, terus berlanjut hingga kehidupan mereka kembali layak untuk dijalani. (daaruttauhiid)