Sehatkan Jiwa dengan Menjaga Salat

Allah Ta’ala telah menganugerahkan nafsu, emosi, dan akal pada manusia yang menjadikannya sebagai pengemban tugas kekhalifahan di muka bumi. Menurut para ahli neurosains, ketiga hal tersebut secara garis besar diatur oleh bagian-bagian tertentu pada otak. Nafsu, yang berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan pokok manusia, diatur oleh batang otak. Emosi diatur oleh sistem limbik yang terdapat di bagian tengah otak. Adapun akal bumi dan intelegensi diatur oleh otak depan atau prefrontal korteks yang terdapat di otak besar.

Interaksi ketiga dimensi tersebut telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan ciptaan Allah lainnya; berbeda dengan malaikat, setan, binatang, maupun tumbuhan. Dengan ketiga kelengkapan dasar tersebut, hidup manusia menjadi lebih hidup, penuh warna dan dinamika.

Dimensi emosi termasuk dimensi yang sangat penting bagi manusia. Inilah dimensi yang menjadikan manusia tampak unik dan menarik. Dengan hadirnya emosi, manusia bisa mengekspresikan apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan, dan segala sesuatu yang ada pada dirinya. Dengan hadirnya emosi, manusia bisa menjalin interaksi dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dengan Tuhannya. Dengan hadirnya emosi, “bumi bisa terus berputar”.

Pada diri manusia setidaknya bersemayam enam jenis emosi dasar yang memungkinkan dia untuk mengekspesikan apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Keenam emosi dasar tersebut antara lain, yaitu rasa gembira (joy), takut (fear), sedih (sadness), marah (anger), terkejut (surprise), dan jijik (disgust).

Menurut para psikolog, keenam emosi dasar ini memiliki turunannya masing-masing. Emosi marah misalnya, dia meliputi sejumlah emosi turunan, seperti rasa benci, dendam, tersinggung, berang, terganggu, bermusuhan, agresi, kebencian patologis, tindak kekerasan, dan sebagainya. Emosi sedih meliputi perasaan pedih, kesepian, ditolak, muram, suram, putus asa, depresi, dan sebagainya. Adapun emosi takut meliputi perasaan cemas, gugup, tidak tenang, was-was, fobia, panik, dan sebagainya (Hude, 2006:8).

Turunan setiap emosi pun bisa bercampur baur baur dengan jenis emosi lainnya sehingga melahirkan emosi jenis baru. Itulah mengapa, kita mengenal istilah yang seakan berlawanan: benci tapi cinta, rindu tapi malu, mau tapi malu, senang tapi sedih, dan sebagainya.

Kebahagiaan hidup seseorang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengendalikan atau memenej emosinya. Kemampuan dalam memenej emosi antara lain mengetahui batas-batas kewajaran dalam merasakan suatu emosi. Emosi positif, semacam kegembiraan, dapat berubah menjadi negatif apabila dia diekspresikan secara berlebihan. Namun, emosi yang tampaknya negatif, seperti marah, dapat menjadi positif apabila diekspresikan secara tepat. Maka, semua emosi itu bagus dan perlu, selama tidak berlebihan dan diungkapkan pada waktu yang tepat, dengan cara yang tepat pula, dan kepada orang yang tepat.

Layaknya air yang mengalir, emosi akan mencari jalan keluar untuk bisa terekspresikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tubuh manusia pun tidak bisa menghalangi keluarnya suatu emosi. Walaupun seseorang berusaha menutupi emosi yang ada pada dirinya sekuat mungkin, tetap saja dia akan keluar dalam bentuk-bentuk yang lebih halus. Utsman bin ‘Affan ra. pernah mengatakan, “Tidaklah seseorang menyembunyikan sesuatu, melainkan Allah akan menampakkannya melalui raut muka dan ketergelinciran mulutnya.”

Oleh karena itu, memenej emosi dapat berarti memahami bagaimana menyalurkan emosi secara benar sehingga tidak meluber ke mana-mana. Maka, dalam ilmu psikologi ada sejumlah model pengendalian emosi, antara lain:

  • Model pengalihan (displacement), yang meliputi katarsis (pelampiasan emosi), rasionalisasi (pengalihan dari satu tujuan yang tidak tercapai atau sesuatu yang tidak mengenakkan kepada bentuk lain yang diciptakan dalam persepsi pikiran, dan zikrullah (mengingat Allah).
  • Model penyesuaian kognisi, yang meliputi sikap husnuzhan (berbaik sangka), empati, altruisme.
  • Model coping, yaitu model untuk menguasai, mengatasi, dan menerima, yang meliputi mekanisme sabar dan syukur, memberi maaf, adaptasi-adjustment.
  • Model regresi atau mundur ke belakang sebagai mekanisme pertahanan diri.
  • Model represi dan supresi, yaitu model untuk menekan pengalaman buruk ke alam bawah sadar, misalnya dengan cara melupakan.
  • Model penguatan (reinforcement), yaitu mekanisme untuk menguatkan diri dengan mencari berbagai alasan dan menekan rasa takut.
  • Model relaksasi, yaitu melakukan proses “penenangan” atau relaksasi ketika kegiatan fisik atau mental melebihi ukuran biasanya. Model ini sangat efektif untuk menurunkan tensi atau ketegangan.

Pertanyaannya, di manakah posisi salat berada? Salat sejatinya termasuk salah satu mekanisme pengendalian emosi, khususnya emosi negatif, yang lebih dekat dengan model relaksasi. Mengapa? Selain sebagai ritual wajib, salat pun memberi sejumlah dampak positif, baik secara fisiologis maupun psikologis.

Secara fisiologis, gerakan-gerakan salat yang digabungkan dengan afirmasi kalimat-kalimat positif dalam bentuk bacaan salat terbukti membantu mengistirahatkan organ-organ tubuh dan meredakan ketegangan fisik dan psikis. Efek nyaman, tenang, dan tenteram yang merupakan efek psikologis, pada akhirnya menjadi “efek samping” dari aktivitas salat.

Hal ini terjadi karena dalam relaksasi terjadi proses perangsangan saraf parasimpatetis dengan pola respons relaksasi, yaitu serangkaian reaksi di seluruh tubuh yang dapat membangkitkan keadaan menenangkan dan puas sehingga memudahkan lahirnya harmonisasi di dalam tubuh. (Goleman, 1991:8)

Oleh karena itu, Rasulullah saw. menganjurkan kita berwudu dan salat apabila sedang mengalami emosi negatif, khususnya apabila sedang marah. Beliau bersabda, “Sesungguhnya, emosi marah itu datangnya dari setan, dan setan tercipta dari api; maka kalau seseorang marah hendaklah dia berwudu.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

(dr. Tauhid Nur Azhar)