Sejarah Penetapan Penanggalan Tahun Hijriyah

Oleh : Roni ‘Abdul Fattah, M.A.

Saudaraku, saat ini kita berada di awal bulan Muharram, bulan ke 1 kalender hijriyah. Berarti kita sudah memasuki tahun baru 1440 hijriyah. Moment yang sangat tepat untuk mempelajari kembali sejarah penetapan penanggalan hijriyah.

Saudaraku ketahuilah bahwasanya kalender hijriyah adalah penanggalan rabbani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam, seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya, yaitu dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah ta’ala;

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ َ

“Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan ibadah haji.” (QS. Al-Baqarah : 189)

Sangat penting untuk kita ketahui bahwasanya sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun. Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istilah ‘aamul fiil/tahun gajah. Untuk acuan bulan, mereka menggunakan sistem bulan qomariyah (penetapan awal bulan berdasarkan fase-fase bulan).

Sistem penanggalan seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Barulah di masa khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman penanggalan bagi kaum muslimin.

Latar Belakang Penanggalan

Latar belakang penanggalan berawal dari surat-surat yang tak bertanggal, yang diterima oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu sebagai gubernur Bashrah kala itu dari khalifah Umar bin Khaththab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat;

إنه يأتينا منك كتب ليس لها تاريخ

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”

Dalam riwayat lain disebutkan;

إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين كُتبٌ، فلا نَدري على أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mu’minin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban, tapi kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khaththab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya akan menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.

Penetapan Patokan Tahun

Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khaththab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun. Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutusnya Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dimulai dari tahun kelahiran Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dimulai dari tahun wafatnya Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang lain mengusulkan dimulai dari tahun hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dari semua usulan yang disampaikan tadi, yang diterima dan disepakati oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah usulan Ali bin Abi Thalib, yaitu penanggalan dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi dan para Sahabat dari Mekkah ke Madinah. Umar bin Khaththab menyampaikan;

الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها

“Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.”

Ibnu Hajar rahimahullah menyampaikan alasan kenapa beberapa opsi di tolak oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu;

لأن المولد والمبعث لا يخلو واحد منهما من النزاع في تعيين السنة ، وأما وقت الوفاة فأعرضوا عنه لما توقع بذكره من الأسف عليه ، فانحصر في الهجرة ، .

“Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menyebabkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.” (Fathul Bari, 7/335)

Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai acuan; karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender Nashrani. Yang mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.

Dan tidak menjadikan tahun wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabbuh dengan orang Persia (Majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.

Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah ta’ala:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ

“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya.” (QS. At-Taubah : 108)

Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat ini adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga moment tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari menyatakan;

وأفاد السهيلي أن الصحابة أخذوا التاريخ بالهجرة من قوله تعالى : لمسجد أسس على التقوى من أول يوم لأنه من المعلوم أنه ليس أول الأيام مطلقا ، فتعين أنه أضيف إلى شيء مضمر وهو أول الزمن الذي عز فيه الإسلام ، وعبد فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – ربه آمنا ، وابتدأ بناء المسجد ، فوافق رأي الصحابة ابتداء التاريخ من ذلك اليوم ، وفهمنا من فعلهم أن قوله تعالى من أول يوم أنه أول أيام التاريخ الإسلامي ، كذا قال ، والمتبادر أن معنى قوله : من أول يوم أي دخل فيه النبي – صلى الله عليه وسلم – وأصحابه المدينة والله أعلم .

“Pelajaran dari As-Suhaili: para sahabat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah ta’ala;

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيه َ

“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya.” (QS. At-Taubah : 108)

Sudah suatu hal yang maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat, yaitu hari pertama kemuliaan islam. Hari pertama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menyembah Rabbnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.

Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari pertama dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah ta’ala: min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya ke kota Madinah. Wallahu A’lam.” (Fathul Bari, 7/335)

Penentuan Bulan

Perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khaththab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyampaikan alasannya;

بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم

“Sebaiknya dimulai bulan Muharram. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.”

Akhirnya para sahabatpun sepakat dengan usulan Umar dan Utsman ini.

Alasan lain dipilihnya bulan muharram sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah;

لأن ابتداء العزم على الهجرة كان في المحرم ؛إذ البيعة وقعت في أثناء ذي الحجة وهي مقدمة الهجرة ، فكان أول هلال استهل بعد البيعة والعزم على الهجرة هلال المحرم فناسب أن يجعل مبتدأ ، وهذا أقوى ما وقفت عليه من مناسبة الابتداء بالمحرم

“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan muharram. Dimana bai’at terjadi dipertengahan bulan Dzulhijjah (bulan sebelum muharram). Dari peristiwa bai’at itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa bai’at adalah hilal bulan muharram, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan muharram (awal bulan muharam). Karena inilah muharram layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan muharram.” (Fathul Bari, 7/335)

Maka dari musyarah tersebut, ditentukanlah sistem penanggalan untuk kaum muslimin, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun dan bulan muharram sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini populer dengan istilah kalender hijriyah.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah penanggalan hijriyah di atas, yaitu;

PERTAMA :Kalender hijriyah ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat. Dan kita tahu bahwa ijma’ merupakan dalil qath’i yang diakui dalam Islam.

KEDUA :Sistem penanggalan yang dipakai oleh para sahabat adalah bulan qamariyah. Hal ini diketahui dari surat Umar bin Khaththab yang ditulis untuk Abu Musa Al-Asy’ari, di situ tertulis bulan sya’ban, hanya saja tidak diketahui tahunnya.

KETIGA : Para sahabat menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam segala urusan kehidupan mereka; baik urusan ibadah maupun dunia. Sehingga memisahkan penggunaan kalender hijriyah, antara urusan ibadah dan urusan dunia, adalah tindakan yang menyelisihi konsensus para sahabat.

KEEMPAT : Seyogyanya bagi seorang muslim, menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam kesehariannya. Kalender hijriyah merupakan syi’ar Islam, yang menbedakannya dengan agama-agama lainnya.

Wallahu ta’ala A’lam