Suami Memasak? Mengapa Tidak

Sudah menjadi anggapan atau dogma tersendiri bagi masyarakat kita, seorang istri harusnya memiliki peran domestik (kerumahtanggaan) lebih banyak daripada suami. Padahal saat ini, kian banyak kaum istri yang juga bekerja di luar rumah. Entah karena tuntutan membantu memenuhi kebutuhan finansial keluarga, sebagai tulang punggung keluarga, atau mengaktualisasikan kemampuan dirinya agar lebih manfaat bagi umat.

Selain peran di luar itu, ternyata seorang istri terkadang tetap dibebani menyelesaikan urusan rumah tangga. Maka, pekerjaannya pun menjadi rangkap. Bekerja di luar rumah, iya. Mengurusi rumah tangga, juga iya. Dan ketika ada masalah, misalnya anak yang sakit atau rumah kurang terurus, orang-orang di sekitar tidak jarang berkomentar miring. Seolah masalah itu timbul karena ibu atau istri tersebut bekerja.

Nah, dalam tulisan ini kita akan mencoba mereview dan mengevaluasi tentang hal tersebut. Dimulai dari lingkungan keluarga kita dahulu. Jika istri untuk saat ini memang harus berkarir di luar rumah, suami tidak perlu segan, malu atau takut kehilangan harga dirinya ketika berniat meringankan pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci, mengepel, dan sebagainya.

Bukankah Rasulullah saw juga membantu pekerjaan istrinya? Dalam sirah diriwayatkan beliau tidak segan pergi ke pasar, atau sekadar menjahit pakaiannya yang robek. Rasulullah saw yang mulia juga menegaskan bahwa laki-laki yang paling baik adalah laki-laki yang paling baik sikapnya kepada istrinya. Adapun membantu meringankan perkerjaan rumah tangga adalah salah satu perbuatan menyenangkan hati istri.

Apalagi kini zaman yang serba hi-tech. Begitu banyak perangkat yang dapat membantu pekerjaan rumah tangga, misalnya mesin cuci, rice cooker, atau yang lainnya yang dapat disediakan suami untuk membantu istrinya. Namun, tentu harus disesuaikan dengan kemampuan financial keluarga. Atau menyediakan khadimat, agar istri yang sudah lelah bekerja tidak harus terlibat langsung mengurus rumah, cukup mengawasi khadimat saja.

Libatkan Semua Anggota Keluarga

Selain itu, suami selaku kepala keluarga dapat mengondisikan anggota keluarganya untuk saling bekerja sama mengurus rumah. Cobalah melibatkan anak-anak untuk tugas domestik harian. Misalnya, si sulung ditugaskan mengepel setiap pagi sebelum berangkat sekolah, sedangkan adiknya ditugaskan mencuci piring. Orangtua, ayah dan ibu, dalam hal ini dapat urun rembug atau musyawarah dengan anak-anak. Mereka pasti akan sangat senang dan dihargai jika dilibatkan orangtuanya.

Namun, tentu pembagian tugas ini harus adil. Sesuai dengan usia dan kemampuan anak tersebut. Insya Allah jika sedari dini mereka dibiasakan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ketika dewasa meraka akan mandiri dan tidak akan memandang rendah pekerjaan rumahan. Selain itu, anak-anak kita juga dapat belajar untuk saling menolong (ta’awun) antara sesama anggota keluarga. Mudah-mudahan kelak akan membuat mereka menjadi terbiasa membantu orang lain yang memerlukan.

Inti dari semua itu adalah adanya kesadaran dari suami dan anak bahwa peran ibu di rumah tidaklah semata mengurusi pekerjaan rumahan. Namun, lebih dari itu. Apalagi jika istri atau ibu tersebut juga bekerja di luar. Perempuan ini sudah banyak berkorban darah, airmata, tenaga untuk melahirkan dan mengasuh anak-anaknya, apakah harus ditambah lagi mengurusi pekerjaan rumah tangga yang menyita waktu dan tenaganya?

Saling Tolong-menolong

Memang dalam Islam, harta dan rumah tangga suami menjadi tanggung jawab istri. Namun, tentu tidak dipahami saklek seperti itu. Seorang ibu atau istri tetap memerlukan bantuan dari anggota keluarga lainnya karena kemampuannya terbatas. Kalaulah ia sudah sangat disibukkan dengan tetek bengek urusan dapur, rumah dan halaman, kapan waktunya ia full mencurahkan energi untuk mendidik anak-anaknya?

Padahal masalah anak-anak juga tanggung jawabnya. Jangan sampai juga karena sibuk di dapur, menuntut ilmu menjadi terhalang. Apalagi jika ia berkarya di luar demi kemaslahatan umat atau masih sangat diperlukan masyarakat.

Maka, suami harus sangat bijak menyikapi hal ini. Tidak terpengaruh anggapan masyarakat bahwa istrilah yang harus mengerjakan semuanya. Apalagi jika istri juga bekerja, suami harus memandang hal ini dengan sangat proporsional. Tidak menuntut, namun juga tetap memberikan kepercayaan kepada istri untuk mengatur urusan rumah tangganya.

Menghormati dan menghargai perannya sebagai ibu, salah satunya dengan membantu meringankan tugasnya di rumah. Perlu juga sesekali memanjakan ibu atau istri setelah seharian lelah bekerja atau mengurusi rumah. Misalnya dengan memberikan kado spesial, atau ungkapan sayang anggota keluarga untuk pengorbanan beliau selama ini. Jadi, jika setiap minggu suami yang memasak, mengapa tidak? (daaruttauhiid)

sumber foto: lifestyle.okezone.com