Tadabbur Alam

Tadabbur berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa kata tadabbur berasal dari kata dabbara yang berarti belakang. Tadabbur itu sendiri berarti memikirkan, merenungkan, memperhatikan sesuatu di belakang. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tadabbur menurut bahasa berasal dari kata دبر yang berarti menghadap, sedangkan menurut ahli bahasa mengandung arti memikirkan, merenungkan.

Hilmi Hambali menjelaskan bahwa tadabbur berarti merenungkan, menghayati, memikirkan makna untuk kemudian menjadikannya sebagai sebuah pelajaran. Dengan demikian dapat diartikan tadabbur ialah memperhatikan, merenungkan sesuatu di balik suatu perkara atau pun fenomena yang terjadi.

Tujuan Tadabbur

Bisa dikatakan dengan melakukan tadabbur seseorang akan lebih bisa mengenal sesuatu yang hendak ditadabburi. Ada pun beberapa inti pokok mengenai tadabbbur dari beberapa ulama seperti disampaikan Dwi Wulansari pada Pengalaman Tadabbur Alam Mahasiswa IAIN Tulungagung dalam Mendaki Gunung di Gunung Penanggungan Mojokerto, yakni mengetahui makna dan maksudnya; merenungkan kembali apa yang ditunjukkan; apa yang dipahami dalam suatu konteks; serta memperhatikan akibat dari hasil perenungan; memahami peran akal dan hati untuk mendapatkan hikmah; mengambil pelajaran dari sebuah pengalaman; mengamalkan hikmah yang didapatkan serta bisa mengembangkannya sebagai sebuah bentuk pengembangan diri seseorang.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa tadabbur adalah sebuah proses merenung, memikirkan secara mendalam untuk dapat mengambil makna, hikmah atas peristiwa, fenomena tertentu, sehingga bisa diterapkan dalam diri sendiri serta kehidupan sehari-hari.

Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, yang telah diberi tanggung jawab sebagai khalifah di muka bumi ini telah diciptakan untuk memperhatikan dan merenungi segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini. Alam semesta, sebuah tempat di mana manusia singgah untuk sementara sebelum menuju alam berikutnya. Allah Ta’ala berfirman:

اَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ اَمْ جَاۤءَهُمْ مَّا لَمْ يَأْتِ اٰبَاۤءَهُمُ الْاَوَّلِيْنَ ۖ ﴿المؤمنون : ۶۸

Artinya: “Maka tidakkah mereka menghayati firman (Allah), atau adakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka terdahulu?” (QS. al-Mu’minun [23]: 68).

Alam dan Kebesaran Allah
Menurut Ibnu Arabi, alam berfungsi sebagai ayat atau tanda kebesaran Allah. Sebuah media untuk memenuhi kebutuhan konsumtif manusia dan yang membuat bumi semakin indah. Alam sebagai ayat atau tanda kebesaran Allah dimaksudkan bahwa alam bisa dijadikan bahan renungan dan pelajaran secara optimal, sehingga manusia yang melakukan perenungan tentang alam semesta akan mendapat kebijaksanaan yang ilahiyah.

Dengan artian bahwa kebijaksanaan yang didapatkan merupakan hasil perenungan atas kebesaran Tuhan melalui alam sebagai medianya. Sebuah kebijaksanaan yang berasal dari Tuhan hingga timbul kebaikan-kebaikan dalam diri manusia.

Alam berfungsi sebagai media untuk memenuhi kebutuhan konsumtif manusia. Mulai dari kebutuhan sandang pangan, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya. Dalam hal ini, keberadaan manusia sangat tergantung pada eksistensi kehidupan makhluk yang lainnya, seperti hewan dan tumbuhan.

Seperti yang dikatakan Ibnu Arabi bahwa manusia adalah mikrokosmos. Argumentasi inilah yang semakin menguatkan bahwa alam semesta memang diciptakan untuk manusia. Akan tetapi ada beberapa batasan dalam memanfaatkan eksistensi alam semesta ini. Batasan dalam artian bahwa ketika manusia memanfaatkan sesuatu yang ada di alam semesta ini tidak dengan berlebih-lebihan. (Gian)