Wakaf di Masa Daulah Islam

Praktik wakaf menjadi lebih luas pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Peruntukannya tidak hanya untuk orang-orang miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan, dan membayar gaji para staf, para guru dan beasiswa. Antusiasme masyarakat pada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Seperti yang dibahas oleh Solikhul Hadi pada Perkembangan Wakaf dari Tradisi Menuju Regulasi, kala masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim di Mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadhramy dan khalifah saat itu adalah Hisyam bin Abdul Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negara muslim. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Bashrah.

Lembaga Wakaf

Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan membutuhkan. Demikian juga, pada masa dinasti Abbasiyyah terdapat lembaga wakaf yang disebut shadr al wuqūf yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.

Pada masa dinasti Ayyubiyyah di Mesir perkembangan wakaf sangat baik, yang mana hampir semua tanah pertanian menjadi harta wakaf dan dikelola oleh negara. Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada yayasan-yayasan keagamaan dan sosial sebagaimana dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah sebelumnya.

Selepas pembebasan Al-Quds dari pasukan Salib, Shalahuddin mengadakan sejumlah wakaf yang menarik perhatian para developer, pengrajin, peziarah, dan para sarjana, sehingga dapat membantu menegakkan kembali ciri Islam di kota tersebut. Negara juga memanfaatkan wakaf sebagai sarana untuk menyediakan berbagai macam layanan masyarakat. Sumbangan tanah pemberian Sultan Sulaiman Agung kepada isterinya, Roxelana untuk  membiayai dapur umum bagi kaum miskin Al-Quds merupakan wakaf yang besar. Air minum dipasok ke Al-Quds dari Birkah Sulaiman melalui terowongan air yang dipelihara dengan dana wakaf.

Wakaf Negara

Orang yang pertama kali mewakafkan tanah milik negara kepada yayasan keagamaan dan sosial adalah Raja Nuruddin asy-Syahid dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu, Ibnu ‘Ishrun. Didukung pula oleh para ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya jawāz (boleh). Dengan argumentasi demi memelihara dan menjaga harta negara.

Shalahuddin al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan. Seperti mewakafkan beberapa qaryat (perkampungan) untuk pengembangan madrasah mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi dengan pengembangan dana melalui wakaf kebun dan tanah pertanian. Dia telah membangun madrasah mazhab Syafi’i di samping makam Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan tanah al-fīl.

Dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni, Shalahuddin menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi kaum nasrani yang datang dari Iskandaria setelah berdagang wajib membayarkan sejumlah uang kepada pemerintah. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha dan keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana politis kenegaraan dan keagamaan Sunni pada dinasti Ayyubiyyah. Harta milik negara menjadi modal untuk diwakafkan guna mengembangkan mazhab Sunni, dan mengakhiri penyebaran paham Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, Fathimiyyah. (Gian)