Ya’qub dan Bani Israil: Menyongsong Kekuasaan yang Dijanjikan

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma´il, Ishaq, Ya´qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’” (QS. al-Baqarah [2]: 136)

Nabi Ya’qub mendapatkan tugas kenabian. Untuk melancarkan tugasnya, Allah menghadirkan empat perempuan yang diperistrinya. Keempat istri tersebut adalah Laya, Rahil, Balha, dan Zulfa. Dari keempatnya, Nabi Ya’qub dikaruniai 12 anak laki-laki dan 2 anak perempuan.

Keturunan Nabi Ya’qub yang lahir dari rahim ibunda Laya ada 6 putra dan 1 putri, yaitu Robil, Syam’un, Lawai, Yahudza, Isakhir, Zabalun, dan Dina. Dari rahim ibunda Balha lahir 2 putra, yaitu Dani dan Naftali. Dari rahim ibunda Zulfa lahir 2 putra, yaitu Jad dan Asyir. Ada pun dari rahim ibunda Rahil lahir 2 putra dan 1 putri, yaitu Yusuf, Bunyamin, dan Yathirah.

Nabi Ya’qub memahami kekuasaan yang Allah janjikan ada di negeri Kana’an, kampung halamannya. Selepas tunai dari seluruh kewajiban di peternakan, ia meminta izin kepada paman sekaligus mertuanya untuk membawa anak istrinya kembali ke Kana’an.

Alhamdulillah, pamannya tidak keberatan. Bahkan ia mempersilakan Nabi Ya’qub memilih beberapa domba untuk dibawa ke sana. Tentu Nabi Ya’qub menerimanya dengan senang hati. Ia pun memilih domba-domba yang subur dan produktif.

Setelah cukup menyiapkan perbekalan, Nabi Ya’qub memulai perjalanan. Mengingat kondisi padang pasir yang panas dan ganas untuk dijelajahi di siang hari, Nabi Ya’qub berstrategi menjadikan waktu malam untuk berjalan, dan waktu siang untuk istirahat.

Selama di perjalanan, Nabi Ya’qub terkenang dengan sosok Ishu, saudara kembarnya yang selalu bersikap sinis. Sadar Allah adalah sebaik-baik penolong dan pelindung, ia bermunajat penuh khusyu kepada-Nya.

Tiba-tiba, datanglah seorang laki-laki tanpa permisi. Karena tidak menjawab saat ditanya dan khawatir melakukan hal yang tidak diinginkan, Nabi Ya’qub pun memeranginya. Terjadilah perkelahian sengit yang membuat kaki Nabi Ya’qub cedera, sehingga jalannya menjadi agak pincang.

Setelah mampu menyederai, laki-laki itu meminta berhenti dan bertanya nama kepada Nabi Ya’qub. Nabi Ya’qub pun menjawabnya. Lalu, laki-laki tersebut berpesan agar Nabi Ya’qub mengganti panggilan untuknya dengan sebutan Israil, orang yang melakukan perjalanan malam hari. Setelah mengatakan hal itu, sang laki-laki itu pun pergi. Nabi Ya’qub baru menyadari bahwa laki-laki tersebut adalah malaikat yang diutus Allah untuk mengabulkan doanya.

Nabi Ya’qub memahami maksud Allah. Lalu, ia membuat kebijakan dengan membagi rombongannya menjadi beberapa bagian dengan jarak tertentu. Targetnya adalah memopulerkan sebutan Israil. Setiap bertemu dengan penduduk setempat, rombongan tersebut menyampaikan bahwa mereka adalah rombongan milik Israil.

Kabar kedatangan Israil sampai ke telinga Ishu. Ia pun menyambut kedatangan Israil. Nabi Ya’qub diterima dengan baik. Saat perjalanan menuju pusat Kota Kana’an, Nabi Ya’qub mendapatkan wahyu untuk membeli tanah seharga 100 ekor kambing. Kemudian, tanah tersebut ia namakan Bait Eli (Baitullah), yang selanjutnya dikenal dengan nama Baitul Maqdis.

Sesampainya di pusat kota, Nabi Ya’qub meminta izin menemui Nabi Ishaq dan menetap di kediamannya. Ishu pun mengizinkan. Namun tidak berselang lama dari kejadian itu, Nabi Ishaq sakit dan meninggal pada usia 180 tahun. Kekuasaan di negeri Kana’an berpindah tangan. Berikutnya, Nabi Ya’qub beserta Bani Israil menyiapkan diri menyongsong kekuasaan yang Allah janjikan di sana. Wallahu a’lam. (Ust. Edu)